Perilaku durhaka istri terhadap suami adalah
Istri yang Merusak kepemimpinan suami.
Dalam konteks ini Rasulullah Saw. bersabda:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ حَدَّثَنِى أَبِى حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَبْدِ الْمَلِكِ الْحَرَّانِىُّ حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرَةَ بَكَّارُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ أَبِى بَكْرَةَ قَالَ سَمِعْتُ أَبِى يُحَدِّثُ عَنْ أَبِى بَكْرَةَ أَنَّهُ شَهِدَ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- أَتَاهُ بَشِيرٌ يُبَشِّرُهُ بِظَفَرِ جُنْدٍ لَهُ عَلَى عَدُوِّهِمْ وَرَأْسُهُ فِى حِجْرِ عَائِشَةَ فَقَامَ فَخَرَّ سَاجِداً ثُمَّ أَنْشَأَ يُسَائِلُ الْبَشِيرَ فَأَخْبَرَهُ بِمَا أَخْبَرَهُ أَنَّهُ وَلِىَ أَمْرَهُمُ امْرَأَةٌ فَقَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « الآنَ هَلَكَتِ الرِّجَالُ إِذَا أَطَاعَتِ النِّسَاءَ هَلَكْتِ الرِّجَالُ إِذَا أَطَاعَتِ النِّسَاءَ ». ثَلاَثاً. (مسند أحمد – (ج 44 / ص 339)
“(Berkata Imam Ahmad) : Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Abdul Malik Al Harrani, telah menceritakan kepada kami Abu Bakrah Bakkar bin Abdul Aziz bin Abu Bakrah ia berkata; Aku mendengar Ayahku bercerita dari Abu Bakrah bahwa ia pernah menyaksikan Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, saat itu beliau kedatangan seseorang yang membawa kabar gembira dengan kemenangan para prajurit dari musuh-musuh mereka, sedangkan kepala beliau berada di pangkuan Aisyah radliallahu ‘anha, beliau langsung berdiri dan tersungkur sujud, lalu bangkit dan bertanya pada pembawa kabar gembira tersebut, pembawa kabar pun memberitahukan mengenai kabar yang ia bawa, bahwa semua urusan dipegang oleh wanita. Maka Nabi Saw. bersabda: “Sekarang binasalah para lelaki jika ia mentaati wanita, binasalah para lelaki jika ia mentaati wanita.” -beliau mengucapkannya hingga tiga kali-.
Rasulullah Saw. menjelaskan bahwa seorang suami yang mentaati istrinya akan menyebabkan kerusakan pada dirinya. Bentuk kerusakan tersebut adalah hilangnya kewibawaan dalam mengendalikan kepemimpinannya karena istri tidak lagi mematuhi perintah-perintah dan larangan-larangannya.
Padahal Allah menetapkan bahwa pihak yang b’erwenang untuk memegang kendali kepemimpinan, baik dalam keluarga maupun ditengah masyarakat adalah laki-laki. Hal tersebut Allah tegaskan dalam firman-Nya:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ [النساء/34]
“Kaum laki-laki adalah pemimpin kaum perempuan,…” (Qs. An-Nisaa’ (4) :34)
Penyimpangan dari ketetapan Allah tersebut tidak hanya merusak kepemimpinan laki-laki, tetapi juga mengakibatkan kerusakan yang meluas dalam kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat. Hal ini karena laki-laki yang lemah kemauannya dalam melaksanakan tugas-tugas berat menegakkan kehidupan keluarga dan masyarakat. Suami atau ayah yang bermental lemah dan malas ini akan merusak perjalanan rumah tangganya karena berbagai kepentingan keluarga tidak terpenuhi, sehingga kebutuhan nafkah istri dan anaknya terlantar. Kemalasan dan kelemahan mental pada suami atau ayah pasti mengakibatkan malapetaka bagi keluarga. Bila hal itu melanda laki-laki secara umum, maka dapat dipastikan bahwa masyarakat akan mengalami kerusakan.
Kelemahan mental, kemalasan dan kerusakan cara berpikir kaum laki-laki terjadi karena kepemimpinan dirusak oleh kaum perempuan. Demikian pula dalam kehidupan rumah tangga, hal ini terjadi karena kepemimpinan suami dirusak oleh istri. Oleh karena itu para suami harus menyadari bahwa rusaknya kepemimpinan suami dalam rumah tangga akan mengakibatkan rusaknya kehidupan rumah tangga mereka semua disampin hal itu dipandang sebagai sikap durhaka istri kepada suami.
Bagaimana contohnya, bahwa seorang istri merusak kepempinan suami? Misalnya: “Seoranga istri memutuskan membeli meja kursi, padahal suaminya tidak diajak berunding sama sekali atau suaminya tidak setuju istri membeli meja kursi baru, tetapi istri tetap saja membelinya. Ini salah satu contoh istri telah merusak kepemimpinan dan kewibawaan suaminya ditengah-tengah keluarganya. Dengan tindakannya tersebut, sesungguhnya istri telah menciptakan ketegangan pada diri suaminya, bahkan membuat kepemimpinan suaminya hancur.
`Contoh lain, seorang istri diperintah suami untuk menyeterikakan baju atau celananya, tetapi istri menunda perintah tersebut karena sementara berbincang dengan temannya semasa sekolah dahulu. Sikap istri yang demikian itu, telah jauh merusak kewibawaan suaminya di mata orang lain. Perbuatan yang demikian itu jelas akan merusak martabat kepemimpinan suami.
Pengrusakan terhadap kepemimpinan suami dilakukan oleh istri, karena disebabkan oleh beberapa hal, antara lain:
1. Suami dinilai kurang tegas dalam mengambil keputusan ketika menghadapi suatu masalah, sehingga istri merasa jengkel.
Sikap istri yang seperti itu akan merusak kepemimpinan suami karena istri secara emosional menuntut suami bertindak tegas menurut seleranya tanpa mempedulikan pemikiran dan pandangan suami mengenai persoalan yang dihadapi. Hal ini tidak boleh terjadi karena akan memperlemah sikap suami dalam menghadapi problem-problem keluaraga.
2. Pendidikan istri lebih tinggi dari suami sehingga istri merasa lebih tahu dan lebih mengerti daripada suami.
Hal seperti ini seharusnya tidak boleh terjadi karena kepandaian belum tentu menunjukkan kearifan dalam memimpin, kearifan dalam memimpin tidak harus memerlukan pendidikan tinggi atau ilmu yang banyak. Kepemimpinan lebih banyak dipengaruhi oleh tabiat atau watak dan fitrah seseorang. Kaum laki-laki secara fitrah telah diciptakan oleh Allah memiliki potensi memimpin. Oleh karena itu, istri tidak boleh menafikan fitrah kepemimpinan yang ada pada suami.
3. Istri merasa mampu membelanjai dirinya sendiri karena pandai mencari uang sehingga merasa tidak perlu kepemimpinan suami. Bahkan istri berusaha memimpin suami. Hal ini tidak boleh terjadi karena melemahkan semangat suami memimpin keluarga, terutama istrinya, karena merasa selalu diabaikan oleh istri.
Apapun alasan istri mengabaikan kepemimpinan suami adalah suatu kedurhakaan yang harus dijauhi. Istri hendaknya menyadari bahwa perbuatan tersebut dapat mengakibatkan hal-hal yang tidak diinginkan, antara lain:
Suami merasa terasing dirumahnya sendiri. Suami yang diabaikan kepemimpinannya, apalagi sering ditentang perintah atau larangannya akan merasa terasing dirumahnya sendiri karena keberadaannya tidak dianggap oleh istri.
Timbul pertengkaran antara suami istri karena suami merasa jengkel terhadap sikap istri yang merendahkan kepemimpinannya atau melawan perintah dan larangannya. Pertengkaran tersebut dapat melunturkan runtuhnya kemesraan dan kencintaan mereka sehingga akan merenggangkan ikatan suami istri.
Kemungkinan suami akan berpaling kepada wanita lain yang dinilai lebih cocok sifat dan karakternya dengan dirinya. Jika hal ini terjadi ikatan pernikahan dapat terputus. Hal tersebut tentu saja akan merugikan istri sendiri.
Timbul rasa tidak hormat anak-anak kepadanya karena istrinya selalu meremehkan kepemimpinannya. Jika hal ini terjadi, maka suami akan merasa terhina dirumahnya sendiri karena tidak dihargai oleh anak-anaknya. Hal ini akan menyulitkan pembinaan dan pengarahannya kepada anak-anaknya sebab suami atau ayah tidak dihormati oleh mereka.
Akibat-akibat buruk yang timbul karena tindakan istri yang tidak mematuhi kepemimpinan suami sebagaimana diuraikan diatas hendaknya menjadi bahan pertimbangan istri agar tidak melakukan kedurhakaan tersebut. Istri hendaknya memperhatikan perintah Allah dan Rasul-Nya untuk menjadikan suami sebagai pemimpin rumah tangga dan tidak merusaknya. Dengan kepatuhan istri terhadap kepemimpinan suami, insya Allah rumah tangga akan berjalan dalam suasana sakinah dan penuh berkah.
Menentang perintah suami
Dalam konteks ini Rasulullah Saw. bersabda:
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ حَدَّثَنَا أَيُّوبُ عَنِ الْقَاسِمِ الشَّيْبَانِىِّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِى أَوْفَى قَالَ قَدِمَ مُعَاذٌ الْيَمَنَ – أَوْ قَالَ الشَّامَ – فَرَأَى النَّصَارَى تَسْجُدُ لِبَطَارِقَتِهَا وَأَسَاقِفَتِهَا فَرَوَّأَ فِى نَفْسِهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَحَقُّ أَنْ يُعَظَّمَ فَلَمَّا قَدِمَ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ رَأَيْتُ النَّصَارَى تَسْجُدُ لِبَطَارِقَتِهَا وَأَسَاقِفَتِهَا فَرَوَّأْتُ فِى نَفْسِى أَنَّكَ أَحَقُّ أَنْ تُعَظَّمَ. فَقَالَ « لَوْ كُنْتُ آمِراً أَحَداً أَنْ يَسْجُدَ لأَحَدٍ لأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا ولا تُؤَدِّى الْمَرْأَةُ حَقَّ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْهَا كُلَّهُ حَتَّى تُؤَدِّىَ حَقَّ زَوْجِهَا عَلَيْهَا كُلَّهُ حَتَّى لَوْ سَأَلَهَا نَفْسَهَا وَهِىَ عَلَى ظَهْرِ قَتَبٍ لأَعْطَتْهُ إِيَّاهُ ».(مسند أحمد – (ج 42 / ص 218)
“(Berkata Imam Ahmad): Telah menceritakan kepada kami Isma’il. Telah menceritakan kepada kami Ayub dari Al Qasim Asy Syaibani dari Abdullah bin Abu Aufa ia berkata; Ketika Mu’adz sampai di negeri Yaman atau Syam, ia melihat orang-orang Nasrani sujud kepada para komandan dan ulamanya. Lalu terpikirkanlah di dalam hatinya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah lebih berhak. Maka ketika ia kembali, ia berkata, “Wahai Rasulullah, saya telah melihat orang-orang sujud kepada para komandan dan para ulama mereka, lalu terpikirkanlah di dalam hatiku bahwa Anda adalah lebih berhak untuk dimuliakan.” Maka beliau bersabda:
“Sekiranya saya boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain, niscaya saya akan memerintahkan wanita untuk sujud kepada suaminya.
Seorang wanita tidak dapat dikatakan telah memenuhi hak atas Allah ‘azza wajalla, sebelum ia memenuhi hak suaminya atas dirinya.
Bahkan sekiranya suaminya meminta dirinya, sementara ia saat itu berada di atas pelana kendaraan, maka ia harus mentaatinya.”
Dalam riwayat lain dari Abu Hurairah ra:
حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ غَيْلاَنَ حَدَّثَنَا النَّضْرُ بْنُ شُمَيْلٍ أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَمْرٍو عَنْ أَبِى سَلَمَةَ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لأَحَدٍ لأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا ». (صحيح :سنن الترمذى – (ج 5 / ص 1)
“(Berkata Imam Tirmidzi): Telah menceritakan kepada kami Mahmud bin Ghailan, telah menceritakan kepada kami An Nadlr bin Syumail, telah menghabarkan kepada kami Muhammad bin ‘Amr dari Abu Salamah dari Abu Hurairah dari Nabi r bersabda: “Sekiranya saya boleh memerintahkan seseorang untuk bersujud kepada orang lain, niscaya aku perintahkan seorang istri bersujud kepada suaminya.”
Di dalam rumah tangga, perintah yang harus ditaati oleh seorang istri adalah perintah suaminya, begitu juga larangan yang harus ditaati oleh istri adalah larangan suaminya, selama perintah dan larangan suami tersebut tidak menyalahi ajaran Islam. Sekiranya perintah dan larangan suami tersebut tidak ditaati atau tidak digubris oleh istri, maka di dalam hadits tersebut Rasulullah Saw. menegaskan bahwa perbuatan istri tersebut sama dengan mengabaikan ketetapan Allah. Hal tersebut sangat beralasan, karena Allah telah memberikan kedudukan kepada suami sedemikian rupa dan menggariskan ketentuan bahwa mentaati perintah dan larangan suami berarti mentaati syariat Allah. Tidak mentaati suami sama halnya dengan mengabaikan perintah Allah dan Rasul-Nya untuk mentaati suami.
Di dalam sabdanya tersebut dengan jelas Nabi Saw. menegaskan bahwa: “Seorang perempuan tidak akan dapat dikatakan memenuhi hak Tuhannya sebelum dia menunaikan hak-hak suaminya terhadap dirinya.” Dalam konteks ini bukan berarti kedudukan suaminya sederajat dengan kedudukan Allah. Hanya saja hadits ini menerangkan bahwa: “Jika hak suami untuk ditaati itu dilanggar oleh istri, sedangkan perintah dan larangan suami itu sesuai dengan ketentuan Allah Ta’ala, maka itu artinya istri telah melanggar ketentuan Allah Ta’ala. Perintah dan larangan suami yang ditujukan kepada istrinya tentu saja perintah dan larangan yang berkenaan dengan urusan rumah tangga, bukan bertalian dengan urusan aqidah atau ibadah.
Para suami telah diberi kedudukan yang istimewa oleh Allah Ta’ala dalam rumah tangga, maka sudah sepantasnya bila suami mendapatkan ketaatan dari istrinya. Oleh karena itu, apabila istri menentang perintah suami, padahal perintah itu tidak bertentangan dengan syariat Islam, dalam hal ini berarti istri telah mengabaikan hak suami. Pengabaian terhadap hak suami jelas merupakan kedurhakaan kepada suami. Demikian juga, pengabaian terhadap larangan suami berarti juga pengabaian terhadap haknya suami. Dengan demikian, istri dikatakan durhaka kepada suaminya bila perintah dan larangannya diabaikan.
Dalam kehidupan berumahtangga istri menentang perintah suami disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya:
Perintah suami dinilai tidak benar menurut ajaran agama. Bila demikian halnya, maka istri tidak dapat dikatakan telah menentang perintah suaminya. Justru yang ada adalah istri mencoba meluruskan dan mengingatkan suami agar tidak meneruskan kesalahannya. Oleh karena itu, istri yang menjadikan hal itu sebagai alasannya, maka seyogyanya harus tetap pada pendiriannya, yaitu menentang perintah yang tidak benar tersebut supaya diri dan keluarganya bisa selamat dari api neraka.
Istri merasa dapat hidup mandiri sehingga tidak perlu repot-repot taat kepada perintah suami, sebab ia merasa bahwa menurut teori kesetaraan jender laki-laki dan perempuan itu setara dalam segala hal. Menurut pendapatnya, istri boleh patuh dan taat kepada suami selama istri menggantungkan penghidupannya kepada suami. Berbeda halnya, bila istri telah memiliki kemampuan untuk hidup mandiri, dimana seluruh keabutuhan hidupnya secara materiil dapat dipenuhinya sendiri, maka tentu saja ia tidak perlu lagi taat kepada suaminya. Bagi istri yang seperti ini suami hanya sekedar pelengkap saja di dalam kehidupan berumah tangga. Oleh karena itu, tidak ada pihak yang boleh memerintah dan harus dipatuhi dalam kehidupan berumahtangga. Semuanya mempunyai kedudukan yang sama.
Alasan yang demikian itu salah besar, karena apapun kedudukan istri dan seberapapun kekayaannya, maka tetap saja ia harus tunduk dan patuh kepada suaminya selama suaminya tidak melanggar syariat Allah.
Istri berasal dari lingkungan keluarga yang menganut sistem martiahat di dalam membentuk keluarga, dimana perempuan ditempatkan sebagai kepala dan penguasa keluarga. Dalam sistem masyarakat yang demikian itu, seorang suami tidak mempunyai wewenang di dalam memimpin dan mengatur keluarganya, karena suami dikendalikan oleh istri, pihak keluarga istri dan pihak mamaknya.
Sistem masyarakat yang demikian itu bertentangan dengan syariat Islam. Oleh karena itu, seorang muslimah tidak dibenarkan menjadikan sistem budaya yang keliru tersebut sebagai pandangan hidupnya dan mengatur kehidupannya dalam berumah tangga. Islam mengajarkan kepada para istri untuk patuh dan taat kepada suaminya, apapun status sosial dan latarbelakang budayanya.
Istri merasa lebih pandai dalam memecahkan segala problem dalam kehidupan sosial kemasyarakatan karena tingkat pendidikannya lebih tinggi. Istri menganggap bahwa dirinyalah yang lebih mengetahui kebenaran. Karena itu, apabila suami memberikan perintah kepadanya, maka dia menilai bahwa perintah itu tidak patut ditujukkan kepadanya, sebab suami dianggapnya tidak memiliki kemampuan berpikir yang baik.
Perilaku istri yang seperti itu tidak pantas dilakukan oleh seorang muslimah, apalagi kesombongan merupakan perbuatan yang dekat dengan kekufuran. Mengingkari kemampuan orang lain untuk dapat mengetahui yang benar adalah karakter orang-orang kafir seperti yang diperagakan oleh Fir’aun, Namrud, Abu Lahab, Abu Jahal dan lain-lain gembong kekafiran. Istri yang menganggap bahwa dirinya lebih tahu yang benar dari pada suaminya berarti telah berbuat durhaka terhadap Allah dan merendahkan martabat suaminya.
Istri seperti ini sesungguhnya termasuk perempuan yang tidak berakal, karena sekiranya sudah mengetahui bahwa suaminya lebih bodoh dan tidak mengetahui kebenaran, mengapa dia bersedia untuk menjadi istrinya? Bukankah tindakan yang demikian itu sebagai bukti kebodohannya? Sebab orang yang berakal tentu saja tidak mau mempunyai keturunan dari orang yang bodoh.
Para suami yang mendapati istrinya menentang perintah atau larangannya hendaklah melakukan pencegahan untuk menghindari kedurhakan lebih lanjut. Ia harus melakukan perbaikan secara bertahap. Suami juga hendaknya menanamkan ajaran dan didikan agama kepada istrinya agar kedurhakaan tersebut tidak berulang kembali.
Suami yang beranggapan bahwa terhadap penentangan istrinya tidak perlu dilakukan upaya pencegahan dan ia bersikap masa bodoh, berarti ia membiarkan tumbuh suburnya suasana tidak sehat didalam rumah tangganya. Membiarkan istri berbuat dosa karena menentang perintah suami adalah suatu dosa dan berarti telah menempuh perjalanan dosa dalam rumah tangganya. Dampaknya adalah akan merusak suasana kehidupan Islami di dalam rumah tangganya. Maka dari itu, suami tidak boleh membiarkan sikap dan suasana demikian itu tumbuh dan berkembang di dalam rumah tangganya.
Sebaliknya istri yang menyadari bahwa ia telah melakukan keadurhakaan terhadap suaminya berupa penentangan terhadap perintah atau larangannya, hendaklah segera meminta maaf kepada suami dan bertobat kepada Allah. Adapun suami yang telah mendapati istrinya mau meminta maaf, hendaklah dia berlapang-dada dan mau memaafkannya. Selanjutnya suami dan istri sama-sama berupaya menghayati dan memperdalam tuntunan agama dan menciptakan rumah tangga yang bahagia.
Semoga bermanfaat
Wassalam
Endang Gunawan, S.Pd.I
No comments:
Post a Comment