Thursday, August 6, 2015

Prilaku Durhaka Orang Tua Terhadap Anak

Perilaku Durhaka Orang Tua Terhadap Anak: Menelantarkan Nafkah Anak

Ada sebuah hadits yang artinya “Dari ‘Abdullah bin ‘Amr ra, ujarnya: Rasulullah saw bersabda: Seseorang telah cukup dikatakan berbuat dosa bilamana menelantarkan orang-orang yang menjadi tanggungannya.” (HR. Abu Dawud dan Nasa’i)

Yang dimaksud menelantarkan nafkah anak ialah tidak memberi nafkah sama sekali atau memberi nafkah jauh di bawah kecukupan yang layak sesuai dengan kemampuan orang tuanya. Misalnya, orang tua sebenarnya mampu memberikan nafkah kepada anaknya Rp 1.500,00 sehari dan jumlah ini mencukupi kebutuhan gizi anak, tetapi ternyata orang tua hanya memberi Rp 500,00 saja, sehingga uang tersebut tidak layak sebagai nafkah.

Nafkah yang dibutuhkan anak meliputi pangan, sandang, dan papan. Artinya, anak harus mendapatkan makan sehari-hari, pakaian penutup badan, dan rumah tempat berlindung. Kadar masing-masingnya sesuai dengan kemampuan orang tuanya.

Dalam hadits di atas dijelaskan bahwa seorang kepala keluarga bertanggung jawab memberikan makan, pakaian, dan tempat tinggal bagi anggota keluarganya. Dalam pengertian syar’i, keluarga adalah anak dan istri. Karena itu, sesorang yang menelantarkan istrinya atau anaknya atau mereka semua, berarti telah berbuat durhaka terhadap mereka. Jika ternyata di rumahnya ada pembantu, maka pembantu ini termasuk dalam pengertian orang yang di bawah tanggungannya.

Dari tiga kebutuhan hidup sehari-hari yang meliputi pangan, sandang dan papan, maka yang terutama dipenuhi lebih dulu ialah pangan. Bilamana harta yang dimiliki orang tua untuk memberi nafkah untuk anak-anaknya cukup untuk pangan saja, maka pangan itulah yang harus diutamakan. Mengapa pangan yang harus diutamakan? Karena pangan merupakan pendukung kelangsungan hidup manusia. Manusia sanggup berpakaian compang-camping, tetapi manusia tak dapat bertahan hidup dalam kelaparan dan kehausan. Karena itulah, pangan ini menjadi prioritas utama.

Bila orang tua menelantarkan nafkah anak-anaknya sehingga mereka kekurangan gizi, apalagi tidak mengurus kebutuhan makan dan minumnya sama sekali, maka mereka telah berbuat dosa, baik kepada anak-anak itu sendiri maupun kepada Allah. Jadi, orang tua harus menyadari bahwa mereka bisa saja berbuat dosa kepada anak-anaknya, yang kelak akan mendapatkan siksa dari Allah karena telah menelantarkan nafkah mereka.

Orang tua, baik bapak maupun ibu, bertanggung jawab melindungi putra-putrinya dari ancaman kelaparan dan kehausan. Karena itu, orang tua wajib berdaya upaya semaksimal mungkin memberi makan dan minum putra-putrinya sejak hari pertama lahirnya sampai mencapai umur baligh, kecuali bagi anak putri, yaitu sampai ia bersuami.

Tanggung jawab memberi nafkah semacam ini tidak boleh dilalaikan oleh bapak dan ibu dalam keadaan apa pun dan di mana pun berada. Apabila bapak dan ibu melalaikan tanggung jawab memberi makan dan minum serta pakaian dan tempat berteduh untuk puta-putrinya, berarti orang tua tersebut telah mendhalimi hak-hak asasi anak-anak mereka.

Sumber: 20 Perilaku Durhaka Orang Tua Terhadap Anak
Oleh : Nur Rokhanah

Semoga bermanfaatp
Wassalam
Endang Gunawan, S.Pd.I

Sunday, August 2, 2015

Manfaat ML Buat Kesehatan Wanita

Manfaat ML bagi kesehatan Wanita

Seks sebenarnya justru memiliki
banyak manfaat, bukan hanya untuk
kesehatan tapi juga kecantikan.
Berikut ini tujuh manfaat yang bisa
Anda dapat dari bercinta seperti dikutip dari Health Review.:

1. Seks Bisa Membuat Wanita Lebih
Cantik

Saat bercinta, wanita akan memproduksi hormon estrogen dalam jumlah yang cukup banyak. Hormon ini bisa membuat kulit wanita jadi lebih halus dan bersinar. Hubungan seksual juga bisa meningkatkan produksi hormon pheromone, zat pemikat alami untuk
menarik perhatian pria. Hormon tersebut membuat wanita tampak cantik dan menarik.

2. Seks Dapat Menurunkan Berat
Badan

Sudah bukan rahasia lagi kalau seks sebenarnya juga bentuk olahraga. Tapi bisa jadi Anda belum tahu kalau aktivitas menyenangkan bersama pasangan ini bisa membakar kalori dari cokelat yang Anda makan sebelum tidur. Kunci agar lemak yang terbakar cukup banyak adalah dengan bercinta sepanas mungkin. “Anda juga bisa membuat lemak terbakar lebih banyak, dengan bersuara, setidaknya ada ekstra 18-30 kalori yang terbakar,” jelas Kinzbach.

Untuk hasil yang lebih maksimal, cobalah bercinta dengan beberapa posisi berbeda. “Jika Anda di atas, coba gerakkan pinggang seperti penari perut, selain bisa memberi kenikmatan juga membakar kalori,” tambahnya. Posisi bercinta dengan Anda seperti berjongkok di atasnya juga membakar kalori cukup banyak. Dalam 30 menit, bisa membakar 207 kalori. Cara terakhir adalah dengan memastikan Anda mendapatkan orgasme saat bercinta. Menurut ahli, wanita yang bisa orgasme membakar kalori lebih banyak ketimbang yang tidak.

3. Kulit Sehat karena Seks

Menurut Sekslog, Dr. Gloria G. Bramer, seks dapat membuat kulit lebih merona. Berhubungan seks bisa memperlancar sirkulasi darah dan memompa oksigen ke seluruh tubuh sehingga membuat kulit lebih cerah. Seks juga membantu menghilangkan racun dan membuat bibir Anda sedikit lebih tebal sehingga terlihat lebih seksi. Hormon yang dilepaskan pada saat bercinta juga membuat kuku Anda menjadi cerah. Hal ini terjadi terutama pada wanita hamil.

Tidak hanya untuk mencerahkan kulit saja, seks juga dapat mengontrol
pertumbuhan jerawat. Hormon yang berkurang setelah Anda bercinta dapat membuat jerawat tak mudah datang. Hasilnya kulit yang lebih bersih dan rambut yang lebih sehat akan Anda dapatkan.

4. Seks = Olahraga

Bercinta merupakan aktivitas olahraga yang menyenangkan.
Seks bisa mengencangkan semua otot di tubuh. Berbagai aktivitas ‘seksual’ yang bisa membakar lemak di antaranya, berciuman (68 kalori per jam), saling melepaskan pakaian (8 kalori), dan bercumbu (238 kalori per 1/2 jam).

5. Seks Dapat Mengatasi Depresi

Dr Arun Ghosh, seorang ahli kesehatan seksual di Spire Liverpool Hospital mengatakan, orgasme yang didapat khasiatnya sama dengan jika mereka mengonsumsi obat penenang. Tak hanya itu, hormon endorphin yang keluar saat bercinta juga bisa menurunkan tingkat stres dan membuat pikiran menjadi lebih
positif. Salah satu jenis endorphin
adalah serotonin, dikenal sebagai hormon bahagia. Hormon lainnya yang juga diproduksi saat orgasme adalah endogenousendorphin.
Hormon ini membuat seseorang seperti melayang selama 5-10 detik pada pria dan 4-5 menit pada wanita. Hal itu baik untuk kesehatan mental.

6. Seks Membuat Wanita Rileks

Orgasme membantu melepaskan stres dan tegang. Saat berhubungan seks, aliran darah akan meningkat dan detak jantung bertambah cepat
secara teraturnamun signifikan.
Otot-otot tubuh juga akan menegang. Saat Anda mencapai orgasme, semua ketegangan itu akan dilepaskandan seluruh tubuh akan rileks.

7. Seks Bisa Menyembuhkan Sakit
Kepala

Menurut sebuah penelitian dari Amerika ternyata bercinta dapat menyembuhkan sakit kepala. Dalam penelitian yang dilakukan di Oklahoma, Amerika Serikat pada 1998 itu melibatkan 84 wanita. Hasil penelitian tersebut, 2/3 wanita tetap menikmati kegiatan seksual walaupun sedang migrain. 61% wanita mengaku seks membuat rasa sakit lebih mudah diatasi dan 20% responden mengatakan bahwa sakit kepala benar-benar hilang saat bercinta.

Para ilmuwan menawarkan dua kemungkinan penjelasan mengapa seks bisa bantu menghilangkan atau paling tidak mengurangi rasa sakit kepala. Pertama, hormon endorfin yang diproduksi saat bercinta memiliki efek menenangkan pada semua jenis masalah,mulai dari radang sendi hingga sakit kepala. Alasan kedua, fokus pada rangsangan membuat seseorang melupakan dan tidak merasakan rasa sakit.

Semoga bermanfaat

Sunday, July 26, 2015

Cara Mandi Junub dan Penyebabnya

Cara Mandi Junub (Wajib) dan Penyebabnya

Hal-Hal Yang Mewajibkan Mandi

Satu : Keluarnya mani dengan disertai syahwat.

Baik pada laki-laki atau perempuan, dalam keadaan tidur maupun terjaga.

Dalil tentang syarat "keluarnya mani"

1. Hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata : "apakah wajib atas seorang wanita untuk mandi bila dia bermimpi?. Maka Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menjawab : Iya bila ia melihat adanya air mani” [1]

2. Hadits Abu Sa’id Al-Khudry radhiyallahu ‘anhu, Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
“Air itu hanyalah karena air”. [2]
Maknanya adalah air untuk mandi itu menjadi wajib hukumnya untuk diguyurkan ke tubuh karena keluarnya air mani dari tubuh tersebut, jika tidak keluar maka tidak wajib mandi,,, Sehingga

1-Kalau seseorang tidur dan bermimpi dan melihat ada mani yang keluar, maka wajib mandi

2-Kalau seseorang tidur dan bermimpi tetapi tidak melihat adanya mani yang keluar, maka tidak wajib mandi

3-Kalau seseorang tidur dan tidak bermimpi dan dia melihat ada mani yang keluar, maka dia wajib mandi

4-Kalau seseorang tidur dan tidak bermimpi dan tidak melihat adanya mani yang keluar maka dia tidak wajib mandi

5-Kalau seseorang dalam kondisi tidak tidur (terjaga) dan keluar mani disertai syahwat maka dia wajib mandi.

6-Kalau seseorang dalam kondisi tidak tidur (terjaga) dan keluar mani tidak disertai syahwat maka tidak wajib mandi (semisal karena kedinginan atau penyakit) pada hal ini ada perbedaan pendapat tentang kewajiban mandinya.
cara mandi setelah mimpi basah yang benar sah bagi pria wanita

Dalil tentang syarat "disertai syahwat"

Hadits ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu : “Sesungguhnya Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda : Jika kamu memancarkan mani dengan kuat) maka mandilah janabah dan jika tidak (keluar dengan kuat), maka tidak wajib mandi.

Dan dalam lafazh yang lain : “Jika kamu melihat mani yang memancar dengan kuat maka mandilah”.
Dan dalam lafazh yang lain : “Jika kamu memancarkan mani dengan kuat maka mandilah”[3]

Sisi pendalilan : Mani itu hanya bisa keluar dengan kuat dan memancar jika disertai syahwat, sehingga jika mani keluarnya tidak disertai dengan syahwat maka tidak wajib mandi, contohnya keluar mani karena kedinginan atau karena sakit dan yang semisalnya.

Dua : Bertemunya kemaluan suami dan istri walaupun tidak keluar mani.

Hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda : “Apabila seseorang duduk antara empat bagiannya (tubuh perempuan) kemudian ia bersungguh-sungguh [yakni melakukan hubungan suami-istri] maka wajib baginya untuk mandi.
Dan salah satu riwayat dalam Shohih Muslim “walaupun tidak keluar”. [4]

Kata Imam An-Nawawy [5] : Makna hadits adalah kewajiban mandi tidak  sebatas hanya karena keluarnya mani, tetapi kapansaja kemaluan laki-laki tenggelam dalam kemaluan wanita maka wajib atas keduanya untuk mandi.---(meskipun tidak keluar mani, pen)

Ada kontradiksi?: Hadits Abu Sa’id menyatakan jika keluar mani maka wajib mandi, jika tidak keluar maka tidak wajib mandi. Sedangkan hadits Abu Hurairah, walaupun tidak keluar mani tetap wajib mandi.

Jawaban: Terkhusus untuk hukum dalam hubungan pasutri (jima') hadits Abu Hurairah telah memansukh (menghapus) hukum yang ada pada Hadits Abu Sa’id (jima' yang tidak mengeluarkan mani, tidak wajib mandi).

Hal ini diperjelas oleh Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu:
“Sesungguhnya mandi (hanya akan menjadi wajib, pen) dengan sebab keluarnya air mani adalah rukhshoh (keringanan) pada awal Islam. Kemudian sesudah itu, kami diperintahkan untuk (tetap) mandi (meskipun tidak keluar mani, pen) ”[6]

Tiga : Perempuan yang suci dari Haid dan Nifas.

Adapun haid, dalil-dalilnya sebagai berikut :
a. Firman Allah Ta’ala
“Jika mereka telah suci maka datangilah mereka sesuai dengan apa yang Allah perintahkan kepada kalian “.[7]

Kata Imam An-Nawawy : Sisi pendalilan dari ayat adalah bolehnya suami menjima’ isteri-isterinya (atau budaknya) dan tidaklah boleh dijima' kecuali dengan mandi (terlebih dahulu, dan ada kaidah, pen) apa-apa yang membuat tidak sempurna sebuah kewajiban kecuali dengannya, maka perkara itu ikut menjadi wajib.[8]

Maksudnya: telah suci adalah syarat wajib dan kesucian itu tidaklah sempurna kecuali dengan mandi, maka mandi itu ikut menjadi wajib supaya boleh berjima'.

b. Hadits ‘Aisyah tatkala Nabi berkata kepada Fatimah binti Abi Hubeisy :
“Jika waktu haid datang maka tinggalkanlah sholat dan jika telah selesai maka mandilah dan sholatlah”. [9]

c. Ijma’
Kata Imam An-Nawawy : Ulama telah sepakat tentang wajibnya mandi karena sebab haid dan sebab nifas dan di antara yang menukil ijma’ pada keduanya adalah Ibnu Mundzir dan Ibnu Jarir dan selainnya [10]

Kata Ibnu Qudamah : tidak ada perbedaan pendapat tentang wajibnya mandi karena haid dan nifas [11]
Adapun Nifas, dalilnya adalah Ijma’ sebagaimana telah dinukil oleh An-Nawawy dan Ibnu Qudamah diatas.

Kata Ibnu Qudamah : Nifas sama dengan haid karena sesunguhnya darah nifas adalah darah haid, karena itu ketika seorang wanita hamil maka dia tidak haid sebab darah haid tersebut dialihkan menjadi makanan janin. Maka tatkala janin tersebut keluar, maka keluar juga darah karena tidak ada pengalihannya maka dinamakan nifas.[12]

Kata Asy-Syirazy : Adapun darah nifas maka mewajibkan mandi karena sesungguhnya itu adalah haid yang terkumpul, dan diharamkan puasa dan jima’ dan gugur kewajiban sholat maka diwajibkan mandi seperti haid [13]

Empat : Orang kafir yang masuk Islam.

Apakah dia kafir asli atau murtad, ia telah mandi biasa sebelum islamnya atau tidak, didapati darinya ketika masih kafir, apa-apa yang mewajibkan mandi atau tidak.

Dalil-dalilnya :
a. Hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Bukhary-Muslim tentang kisah Tsumamah bin Utsal radhiyallahu ‘anhu yang sengaja mandi[14] kemudian menghadap kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam untuk masuk Islam.

b. Hadits Qois bin A’shim radhiyallahu ‘anhu :
“Saya mendatangi Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam untuk masuk Islam maka Nabi memerintahkan kepadaku untuk mandi dengan air dan daun bidara”.[15]

Sisi pendalilannya : bahwasanya ini adalah perintah dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam. Dan asal dari perintah menunjukkan hukum wajib kecuali kalau ada dalil lain yang menurunkan derajatnya. Wallahu A’lam.[16]

Lima: Meninggal (mati)
Maksudnya wajib bagi orang yang hidup untuk memandikan orang yang meninggal.

Adapun dalil-dalilnya :
1. Hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma tentang orang yang jatuh dari ontanya dan meninggal, Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda : “Mandikanlah dia dengan air dan daun bidara dan kafanilah dengan dua baju”. [17]

2. Hadits Ummu ‘Athiyah tatkala anak Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam meninggal, beliau bersabda : “Mandikanlah dia tiga kali atau lima atau tujuh atau lebih jika kalian melihatnya dengan air dan daun bidara”.[18]

TATA CARA MANDI JUNUB

terbagi menjadi 2 cara :
1. Cara yang mujzi` (yang mencukupi/memadai)
2. Cara yang sempurna
Faedah:
Kata Syeikh Ibnu Utsaimin rahimahullah : batasan antara cara yang sempurna dengan yang cukup adalah apa-apa yang mencakup wajib maka itu sifat cukup, dan apa-apa yang mencakup wajib dan sunnah maka itu sifat sempurna. [19]

Adapun tata cara yang mujzi`:
1. Niat Akan Melaksanakan Mandi Junub Bukan Sekedar Mandi Biasa.

Karena niat adalah syarat sahnya seluruh ibadah, sebagaimana sabda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam :
“sesungguhnya amalan-amalan itu tergantung dengan niat dan sesungguhnya setiap orang sesuai dengan apa yang dia niatkan”. [20]
Penggalan yang pertama bermakna ia berniat untuk mengerjakan mandi junub, bukan mandi mandi seperti biasa. Penggalan yang kedua bermakna ia meniatkan mandi junub tersebut dalam rangka mentaati Allah dan RasulNya.

2. Menyiram Kepala Sampai Ke Dasar Rambut Dan Seluruh Anggota Badan Dengan Air.
Dalil-dalilnya :
1) Firman Allah Ta’ala :
“Dan jika kalian junub maka bersucilah”.[21]

Kata Ibnu Hazm : Bagaimanapun caranya dia bersuci (mandi-Pent) maka dia telah menunaikan kewajibannya yang Allah wajibkan padanya [22]

2) Hadits Jubair bin Muth’im radhiyallahu ‘anhu :
“Kami (para shahabat) saling membicarakan tentang mandi junub di sisi Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam maka beliau berkata : Adapun saya, cukup dengan menuangkan air di atas kepalaku tiga kali kemudian setelah itu menyiramkan air ke seluruh badanku”. [23]

3). Dari ‘Imran bin Husain radhiyallahu ‘anhu[24], beliau berkata :
“Dan yang terakhir adalah diberikannya satu bejana air kepada yang orang yang terkena janabah lalu beliau (Nabi) bersabda : Pergilah dan tuangkanlah air itu atas dirimu“.

Kata Syeikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah : “Dan Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam tidak menjelaskan bagaimana cara menuangkan air kepada dirinya. Seandainya mandi itu wajib/harus sebagaimana tata cara mandinya Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam (yang sempurna-pent.), tentunya Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menjelaskan kepada orang tersebut, karena menunda penjelasan pada saat dibutuhkan adalah tidak boleh”.[25]

Adapun Tata Cara Mandi Wajib Yang Sempurna:

Ada dua hadits yang menjadi pokok pendalilannya, yaitu hadits Aisyah dan hadits Maimunah radhiyallahu ‘anhuma.
Satu : Sifat mandi junub dalam hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.

Lafazh hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha adalah sebagai berikut :

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ إِذَا اغْتَسَلَ مِنَ الْجَنَابَةِ غَسَلَ يَدَيْهِ -وَفِيْ روَايَةٍ لِمُسْلِمٍ ثُمَّ يَفْرُغُ بِيَمِيْنِهِ عَلَى شِمَالِهِ فَيَغْسِلُ فَرْجَهُ- ثُمَّ تَوَضَّأَ وُضُوْئَهُ لِلصَّلاَةِ ثُمَّ يُخَلِّلًُ بِيَدَيْهِ شَعْرَهُ حَتَى إِذَا ظَنَّ أَنَّهُ قَدْ أَرْوَى بَشَرَتَهُ أَفَاضَ عَلَيْهِ الْمَاءَ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ سَائِرَ جَسَدِهِ

“Bahwasanya Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam kalau mandi dari janabah maka beliau memulai dengan mencuci kedua telapak tangannya –dalam riwayat Muslim, kemudian beliau menuangkan air dengan tangan kanannya keatas tangan kirinya lalu beliau mencuci kemaluannya- kemudian berwudhu sebagaimana wudhunya untuk sholat kemudian memasukkan jari-jarinya kedalam air kemudian menyela dasar-dasar rambutnya sampai beliau merasa telah sampainya air kedasar rambutnya kemudian menyiram kepalanya dengan kedua tangannya sebanyak tiga kali kemudian beliau menyiram seluruh tubuhnya.[26]

Dalam hadits diatas tidak disebutkan pensyaratan niat, namun itu tidaklah berarti gugurnya pensyaratan niat tersebut karena telah dimaklumi dari dalil-dalil lain menunjukkan disyaratkannya niat itu dan telah kami sebutkan sebagaian darinya dalam pembahasan diatas.

Maka dari hadits ‘Aisyah diatas dapat disimpulkan sifat mandi junub sebagai berikut :
1. Mencuci kedua telapak tangan.

Dan ada keterangan dalam salah satu riwayat Muslim dalam hadits ‘Aisyah ini bahwa telapak tangan dicuci sebelum dimasukkan ke dalam bejana.

2. Menuangkan air dengan tangan kanannya keatas tangan kirinya lalu mencuci kemaluannya.

3. Berwudhu dengan wudhu yang sempurna sebagaimana berwudhu untuk sholat.

4. Memasukkan kedua tangan kedalam bejana untuk menciduk air dengan sekali cidukan, kemudian menuangkannya diatas kepala. Kemudian memasukkan jari-jari diantara bagian-bagian rambut dan menyela-nyelainya sampai ke dasar rambut di kepala.

5. Menyiram kepala tiga kali dengan tiga kali cidukan.

Dan diterangkankan dalam hadits ‘Aisyah riwayat Muslim :
“Adalah Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bila mandi dari junub, maka beliau meminta sesuatu (air) seperti Hilab (semacam kantong yang dipakai untuk menyimpan air susu yang diperah dari binatang), kemudian beliau mengambil air dengan telapak tangannya maka beliau memulai dengan bagian kepalanya sebelah kanan kemudian yang kiri, kemudian beliau (menuangkan air) dengan kedua tangannya diatas kepalanya”.

6. Kemudian menyiram air kesemua bagian tubuh.

Tambahan:
Hendaknya memulai dengan anggota-anggota badan bagian kanan
Hadits ‘Aisyah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhary dan Muslim :
“Adalah Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menyenangi yang kanan dalam bersendal (sepatu), bersisir, bersuci dan dalam seluruh perkaranya”.[27]

Dua : Sifat mandi wajib dalam hadits Maimunah radhiyallahu ‘anha.

Adapun cara yang kedua :
Lafazh hadits Maimunah bintul Harits radhiyallahu ‘anha adalah sebagai berikut :

وَضَعْتُ لِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ وَضُوْءَ الْجَنَابَةِ فَأَكْفَأَ بِيَمِيْنِهِ عَلَى يَسَارِهِ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا ثُمَّ غَسَلَ فَرْجَهُ ثُمَّ ضَرَبَ يَدَهُ بِالأَرْضِ أَوِ الْحَائِطِ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا ثُمَّ مَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ وَذِرَاعَيْهِ ثُمَّ أَفَاضَ عَلَى رَأْسِهُ الْمَاءَ ثُمَّ غَسَلَ سَائِرَ جَسَدِهِ ثُمَّ تَنَحَّى فَغَسَلَ رِجْلَيْهِ فَأَتَيْتُهُ بِخِرْقَةٍ فَلَمْ يُرِدْهَا فَجَعَلَ يَنْفُضُ الْمَاءَ بِيَدَيْهِ.

“Saya meletakkan untuk Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam air mandi janabah maka beliau menuangkan dengan tangan kanannya diatas tangan kirinya dua kali atau tiga kali kemudian mencuci kemaluannya kemudian menggosokkan tangannya di tanah atau tembok dua kali atau tiga kali kemudian berkumur-kumur dan istinsyaq (menghirup air) kemudian mencuci mukanya dan kedua tangannya sampai siku kemudian menyiram kepalanya kemudian menyiram seluruh tubuhnya kemudian mengambil posisi/tempat, bergeser lalu mencuci kedua kakinya kemudian saya memberikan padanya kain (semacam handuk-pent.) tetapi beliau tidak menginginkannya lalu beliau menyeka air dengan kedua tangannya. [28]

Dalam sifat mandi junub riwayat Maimunah diatas berbeda dengan sifat mandi junub dalan hadits ‘Aisyah pada beberapa perkara :

Dalam hadits Maimunah ada tambahan menggosokkan tangan ke tanah atau tembok.

Dalam hadits Maimunah tidak ada penyebutan menyela-nyelai rambut.

Dalam salah satu riwayat Bukhary-Muslim pada hadits Maimunah ada penyebutan bahwa kepala disiram tiga kali, namun tidak diterangkan cara menuangkan air diatas kepala sebagaimana dalam hadits ‘Aisyah.

Juga riwayat diatas menunjukkan bahwa tidak ada pengusapan kepala dalam hadits Maimunah. Yang ada hanyalah menyiram kepala tiga kali.
Dalam hadits Maimunah mencucikan kaki dijadikan pada akhir mandi sedangkan dalam hadits ‘Aisyah mencuci kaki ikut bersama dengan wadhu.

Catatan Penting
Syeikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa memang ada beberapa perbedaan antara hadits ‘Aisyah dan hadits Maimunah dan itu banyak terjadi dalam beberapa ‘ibadah yang dikerjakan oleh Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam. Yaitu beliau kerjakan ‘ibadah tersebut dengan bentuk yang berbeda-beda untuk menunjukkan kepada umat bahwa ada keluasan dalam bentuk-bentuk ‘ibadah tersebut. Sepanjang ada tuntunan dalam Syari’at yang menjelaskan bentuk-bentuk ‘ibadah tersebut maka boleh dikerjakan seluruhnya atau dikerjakan secara silih berganti.[29]

Beberapa permasahan terkait:
1. Disyariatkan menyela-nyelai jenggot
Diambil dari hadis Aisyah: “kemudian menyela-nyelai dengan jari-jarinya dasar-dasar rambut”
Menunjukkan umumnya rambut jenggot dan kepala walaupun yang paling nampak didalamnya adalah rambut kepalanya.[30]

2. Tidak ada perbedaan tata cara mandi janabah antara laki-laki dan wanita, hanya saja bagi wanita kecuali dalam hal membuka kepang rambutnya. Dan membuka kepang rambut bagi perempuan tidaklah wajib bila air dapat sampai ke pangkal rambut tanpa membuka kepangnya.

Sebagaimana dalam hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha : “Sesungguhnya ada seorang perempuan bertanya : wahai Rasulullah, sesungguhnya saya perempuan yang sangat keras kepang rambutku apakah saya harus membukanya untuk mandi janabah ? Rasulullah menjawab : Tidak, sesungguhnya cukup bagi kamu untuk menyela-nyelai kepalamu tiga kali kemudian menyiram air diatasnya, maka kamu sudah suci”.[31]

3. Adapun orang yang haid atau nifas, maka tata cara mandinya sama dengan mandi janabah kecuali dalam beberapa perkara:

a. Disunnahkan baginya untuk mengambil potongan kain, kapas atau yang sejenisnya kemudian diberi wangi-wangian/harum-haruman kemudian dioleskan/digosokkan pada tempat keluarnya darah (kemaluannya) untuk membersihkan dan mensucikan dari bau yang kurang sedap.[32]

b. Disunnahkan pula untuk mandi dengan air dan daun bidara sebagaimana hadist ‘Aisyah diatas dan disunnahkan bagi wanita untuk membuka kepang rambutnya[33]

4. Tidaklah makruh mengeringkan badan dengan kain, handuk, tissu atau yang sejenisnya, karena tidak adanya dalil yang menunjukkan hal tersebut, dan hukum asal sesuatu adalah mubah (boleh). Tapi tidaklah diragukan bahwa yang paling utama adalah membiarkannya tanpa dikeringkan berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma riwayat Bukhary-Muslim :

“Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam mengakhirkan sholat ‘Isya sampai mendekati pertengahan malam. Maka keluarlah ‘Umar lalu berkata : “Wahai Rasulullah, para perempuan dan anak kecil telah tidur’. Maka keluarlah beliau dan kepalanya masih meneteskan air seraya berkata : “Andaikata tidak memberatkan umatku atau manusia maka saya akan memerintahkan mereka untuk melakukan sholat (‘Isya) pada waktu ini”.[34]

5. Sudah cukup mandi dari wudhu, maka barang siapa yang mandi dan tidak berwudhu maka sudah terangkat darinya dua hadats, yaitu hadats kecil dan hadats besar dan boleh baginya untuk sholat.

Kata Imam Al-Baghawy : Dan ini adalah pendapat kebanyakan para ulama dan diriwayatkan dari Salim bin Abdullah bin Umar bahwasanya Abdullah bin Umar mandi kemudian berwudhu, maka saya berkata padanya : wahai bapakku bukankah cukup bagimu mandi dari wudhu ? Ibnu Umar menjawab : iya, akan tetapi saya kadang-kadang memegang kemaluanku, maka saya berwudhu.[35]

6. Tidak disyaratkan berwudhu lagi sesudah mandi janabah, karena Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam langsung sholat sesudah mandi janabah tanpa berwudhu lagi,[36]

7. Tidak boleh dan tercelanya berlebih-lebihan (boros) dalam menggunakan air dalam wudhu dan mandi junub.[37]

Silahkan baca juga fatwa tentang tata cara bersuci ketika sakit karena pada salah satu pointnya disertakan tata cara mandi junub jika ada bagian tubuh yang terluka. Selain itu apakah bisa menyatukan mandi jumat (wajib) dengan mandi junub? silahkan baca pada link tersebut

Catatan Kaki:
[1] HR. Bukhary-Muslim
[2] idem
[3] HR. Ahmad, Abu Daud dan An-Nasa`i
[4] HR. Bukhary-Muslim
[5] Syarh Shohih Muslim 4/40-41
[6] HR. Ahmad, Abu Daud, dan At-Tirmidzy
[7] QS. Al-Baqarah : 222
[8] Al-Majmu’ 2/168.
[9] HR. Bukhary-Muslim
[10] Majmu’ 2/168
[11] Al-Mughny 1/277. Dan Ibnu Hazm juga menukil ijma’ dalam Maratibul Ijma’ : 21, dan Imam Asy-Syaukany dalam Ad-Darary Al-Mudhiyah 1/48.
[12] Lihat Al-Mughny: 1/277
[13] Lihat Al-Majmu’: 2/167
[14] Pada sebagian riwayat ada lafazh perintah tapi ada kelemahan dari sisi sanadnya.
[15] HR. Ahmad, Abu Daud, An-Nasa`i, At-Tirmidzy
[16] Dan ini adalah pendapat Imam Ahmad, Malik, Abu Tsaur, Ibnul Mundzir, Asy-Syaukany, dan lain-lainnya. Lihat Al-Mughny 1/275, As-Sailul Jarrar 1/123, Ma’alim As-Sunan 1/252 dan lain-lain.
[17] HR. Bukhary-Muslim
[18] idem
[19] Lihat As-Syarh Al-Mumti’ : 1/414
[20] HR. Bukhary-Muslim
[21] QS. Al-Ma`idah : 6
[22] Lihat Al-Muhalla : 2/28
[23] HR. Ahmad dan dishohihkan oleh An-Nawawy dalam Al-Majmu’ 2/209 dan asal hadits ini dalam riwayat Bukhary-Muslim
[24] Riwayat Bukhary-Muslim dalam hadits yang panjang
[25] Lihat Asy-Syarh Al-Mumti’ :1/424
[26] HR. Bukhary-Muslim
[27] Lihat: Al-Mughny: 1/287, Al-Majmu’: 2/209, At-Tamhid: 2/275,dan lain-lainnya
[28] HR. Bukhary-Muslim
[29]Demikian makna penuturan Syeikh Ibnu ‘Utsaimin dalam kitab beliau Tanbihil Afham bisyarhi ‘Umdatil ‘Ahkam 1/83.
[30] Disebutkan An-Nawawy dalam Al-Majmu’ 2/209, Imam Ibnu Qudamah dalam Al-Mughny 1/287 dan dikuatkan Ibnu Abdil Bar dalam At-Tamhid 2/278
[31] Hr. Muslim. Lihat juga Syarh Sunnah 2/18
[32] Hr. Bukhori Muslim dan Lihat Al-Majmu’ 2/218, Al-Mughny 1/302, dll
[33] Periksa : Al-Majmu’ 2/216, Al-Mughny 1/300, Fathul Bary 1/417 , dan Al-Muhalla 2/38
[34] Lihat penjelasan Ibnul Mulaqqin dalam Al-I’lam 2/292 Dan ini adalah pendapat Hasan Al-Basri, Ibnu Sirin, Sufyan Ats-Tsauri, Ahmad, Malik, dan lain-lain. (Lihat : Syarh Sunnah : 2/15, Ihkamul Ahkam : 1/97, At-Tamhid : 2/276 dan Asy-Syarh Al-Mumti’ : 1/253).
[35] Dikeluarkan oleh Imam Malik dalam Al-Muwatho’ 1/43 dan dishohihkan sanadnya oleh Al-Arna`uth dalam ta’liqnya pada Syarh Sunnah 2/13. (Lihat pula Majmu’ Fatawa :21/396-397, 1/397, Al-Muhalla : 2/44).
[36] HR. Imam Abu Daud 1/172 no. 250 dari Aisyah radiyallahu 'anha
[37]  Imam Abu Daud dari sahabat Abdullah bin Mughoffal dengan sanad yang shohih.

Semoga bermanfaat
Wassalam
Endang Gunawan, S.Pd.I

Wednesday, July 15, 2015

Dalam Hukum Islam, Bolehkan Suami Menolak Ajakan Istri Berhubungan Intim?

Dalam Hukum Islam, Bolehkan Suami Menolak Ajakan Istri Berhubungan Intim?

Telah diketahui dengan jelas bahwa Islam tidak memperbolehkan seorang istri untuk menolak ajakan suaminya melakukan hubungan intim, sebagaimana hadist berikut:

Bila seorang suami memanggil istrinya ke ranjang lalu tidak dituruti, hingga sang suami tidur dalam keadaan marah kepadanya niscaya para malaikat melaknati dirinya sampai Shubuh,” (Muttafaq ‘Alaih dari hadits abu Hurairah).

“Demi Dzat yang jiwaku berada di tanganNya, tidak seorang suamipun yang mengajak istrinya ke ranjang lalu sang istri enggan memenuhi panggilannya melainkan yang di atas langit (Allah Ta’ala) marah kepadanya sampai suaminya ridha kepadanya,” (HR.Muslim).

Namun bagaimana jika istri meminta? Apakah suami boleh menolak. Ulama berpendapat yang berlandaskan pada hadist shahih dan ayat Al- Qur’an bahwa wajib hukumnya seorang suami memuaskan istri dengan hubungan seksualnya.

Ibnu Qudamah: “Berhubungan seks wajib bagi suami jika tidak ada udzur”. Maksud dari Ibnu Qudamah tersebut adalah bahwasanya wajib bagi suami untuk memuaskan istrinya karena ini hak istri atas suami. Sebagaimana diketahui bahwa wanita teramat tersiksa bilamana hak ini (hubungan seks) tidak terpenuhi karena pada umumnya fitrah wanita sangat besar nafsunya, sebagaimana penjelasan Imam Qurtuby bahwa perbandingan syahwat wanita adalah sembilan banding satu.

Wajib disini adalah bila perkara ini tiada ditunaikan maka akan mendatangkan dosa atas pelanggaran syara’ dalam hak dan kewajiban dalam pernikahan. Dan hendaknya seorang istri menuntut haknya dan suami menuruti tuntutan istrinya atas haknya dan menjalankan kewajibanya selaku suami. Jadi kesimpulanya adalah seorang suami dibebankan kewajiban untuk menyenggamai istrinya yang dimana bila ia tidak menggauli istrinya maka ia juga dikenai dosa atas kelalaian kewajibanya dan kedzolimanya. Dan tidak istri saja yang terkena ancaman dosa bila tidak bersedia berhubungan seks. Keduanya suami dan istri saling berkewajiban untuk melakukan hubungan seks. Karena dalam masalah pernikahan keduanya memiliki satu hak antara satu dengan lainya dan satu kewajiban antara satu dengan lainya. Allah swt berfirman :

“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.”(QS.2:228)

Pendapat wajibnya seorang suami menyenggamai istri ini juga dikemukakan oleh Imam Malik, alasan Imam Malik adalah bahwasanya nikah adalah demi kemaslahatan suami istri dan menolak bencana dari mereka.Ia (suami) melakukan hubungan untuk menolak gejolak syahwat istri, sebagaimana juga untuk menolak gejolak syahwat suami.
Ibnu Hazm ad dzahiri [4]berpendapat bahwa menyenggamai istri itu hukumnya wajib, minimal sekali setelah sang istri suci jika ia mampu. Dan apabila tidak maka sang suami telah durhaka pada Allah. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala

“Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu “(QS.Al Baqarah.222)

Berdasarkan ayat ini Ibnu Hazm berpendapat bahwa jikalau istri selesai dari haid dan telah bersuci sang suami wajib mencampuri istrinya, apabila tidak maka ia dianggap berdosa pada Allah karena bertentangan dengan ayat tersebut. Allahu’alam

Imam Ghazali berpendapat, sebaiknya seorang suami menyenggamai istrinya empat hari sekali. Ini semua merupakan suatu langkah dalam menenangkan istri karena ini merupakan suatu kewajiban.

Hadits diriwayatkan dari Asy-Sya’bi, Ka’ab bin Siwar Al Asadi pernah duduk disamping Umar bin Khatab dan datanglah seorang wanita yang mengadu padanya :”Hai Amirul Mukminin, aku sama sekali tidak pernah melihat seorang lelaki yang lebih utama dari suamiku. Demi Allah ia selalu shalat semalam suntuk dan berpuasa disiang harinya, kemudian ia memohonkan ampunan kepada istrinya dan memujinya. Umar berkata :”Ya itu suamimu”. Wanita ini berkali-kali menyampaikan aduan ini dan berkali-kali pula Umar menjawab. Kemudian ka’ab berkata kepada Umar. “ Wahai Amirul Mukminin, wanita ini mengadu atas suaminya yang menjauhi tempat tidur istrinya”. Umar menjawab : “ sebagaimana yang kau ketahui putuskanlah kedua masalah suami istri ini”. Ka’ab berkata :” Sungguh aku berpendapat bahwa wanita ini yang keempat setelah wanita yang ketiga. Maka aku putuskan tiga hari siang dan malam untuk ibadah suamimu dan satu hari satu malam untuk berkumpul dengan istri”. Kemudian ia berpesan pada suami “Sesungguhnya pada istrimu ada hak. Hai suami engkau mendatangi istrimu empat hari sekali bagi yang sedang. Berikanlah hak itu dan hilangkanlah keburukanmu.” Kemudian Umar berkata pada Ka’ab : “Demi Allah pendapat (keputusanmu) yang pertama kali ini menakjubkanku dari pendapat-pendapat orang lain, maka aku perintahkan kau untuk pergi menjadi hakim di Bashrah.

Jadi berdasarkan riwayat ini bahwa bila ada seorang suami tidak bersedia menggauli istrinya ini merupakan tindak kejahatan yang bisa diadukan kepada hakim/penguasa untuk diputuskan perkaranya. Jika ini bukan tindak kejahatan Umar dan Ka’ab tidak akan memutuskan suatu perkara ini,dan Umar juga tidak akan mengangkat Ka’ab menjadi hakim di Bashrah.

Tidak menggauli istri adalah pelanggaran atas hak istri dan bentuk kedzaliman yang terkategori kriminal. Entah apapun alasan sang suami, hatta ia beralasan dalam rangka ibadah pada Allah tetap saja itu suatu kedzaliman bila ia enggan menggauli istrinya. Dan karena ini suatu tindak kriminal (kedzaliman) dan perenggutan hak maka sang istri berhak mengadukanya pada pengadilan. Sebagaimana ia dianiyaya fisik (dipukuli) oleh suami. Ini semua karena memukuli istri tanpa hak dan tidak memenuhi hak istri untuk digauli sama-sama kedzaliman dan kriminalitas.

Ibnu Taymiyyah menyatakan : “Seorang suami harus memberikan nafkah batin kepada isterinya secara makruf. Sebab, ia termasuk kebutuhannya yang paling utama; melebihi kebutuhannya terhadap makan. Nafkah batin yang wajib dipenuhi oleh suami menurut sebagian ulama paling lama empat bulan sekali. Sementara pandangan lain sesuai dengan kebutuhan isteri dan kemampuan suami untuk memenuhinya.”

Imam Ahmad berpendapat : “ Hubungan badan dengan istri wajib, sekalipun demikian, kewajiban suami adalah menjaga hak istri (yaitu digauli). Hendaknya suami bersikap sedang dalam berpuasa dan shalat malam agar mampu melaksanakan hubungan wajib dengan istri.[sumber: as-syubat/Al Faqir Muhammad Fahmi]

Semoga bermanfaat
Endang Gunawan, S.Pd.I

Perilaku Durhaka Istri Terhadap Suami

Perilaku durhaka istri terhadap suami adalah

Istri yang Merusak kepemimpinan suami.

Dalam konteks ini Rasulullah Saw. bersabda:

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ حَدَّثَنِى أَبِى حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَبْدِ الْمَلِكِ الْحَرَّانِىُّ حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرَةَ بَكَّارُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ أَبِى بَكْرَةَ قَالَ سَمِعْتُ أَبِى يُحَدِّثُ عَنْ أَبِى بَكْرَةَ أَنَّهُ شَهِدَ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- أَتَاهُ بَشِيرٌ يُبَشِّرُهُ بِظَفَرِ جُنْدٍ لَهُ عَلَى عَدُوِّهِمْ وَرَأْسُهُ فِى حِجْرِ عَائِشَةَ فَقَامَ فَخَرَّ سَاجِداً ثُمَّ أَنْشَأَ يُسَائِلُ الْبَشِيرَ فَأَخْبَرَهُ بِمَا أَخْبَرَهُ أَنَّهُ وَلِىَ أَمْرَهُمُ امْرَأَةٌ فَقَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « الآنَ هَلَكَتِ الرِّجَالُ إِذَا أَطَاعَتِ النِّسَاءَ هَلَكْتِ الرِّجَالُ إِذَا أَطَاعَتِ النِّسَاءَ ». ثَلاَثاً. (مسند أحمد – (ج 44 / ص 339)

      “(Berkata Imam Ahmad) : Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Abdul Malik Al Harrani, telah menceritakan kepada kami Abu Bakrah Bakkar bin Abdul Aziz bin Abu Bakrah ia berkata; Aku mendengar Ayahku bercerita dari Abu Bakrah bahwa ia pernah menyaksikan Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, saat itu beliau kedatangan seseorang yang membawa kabar gembira dengan kemenangan para prajurit dari musuh-musuh mereka, sedangkan kepala beliau berada di pangkuan Aisyah radliallahu ‘anha, beliau langsung berdiri dan tersungkur sujud, lalu bangkit dan bertanya pada pembawa kabar gembira tersebut, pembawa kabar pun memberitahukan mengenai kabar yang ia bawa, bahwa semua urusan dipegang oleh wanita. Maka Nabi Saw. bersabda: “Sekarang binasalah para lelaki jika ia mentaati wanita, binasalah para lelaki jika ia mentaati wanita.” -beliau mengucapkannya hingga tiga kali-.

Rasulullah Saw. menjelaskan bahwa seorang suami yang mentaati istrinya akan menyebabkan kerusakan pada dirinya. Bentuk kerusakan tersebut adalah hilangnya kewibawaan dalam mengendalikan kepemimpinannya karena istri tidak lagi mematuhi perintah-perintah dan larangan-larangannya.

Padahal Allah menetapkan bahwa pihak yang b’erwenang untuk memegang kendali kepemimpinan, baik dalam keluarga maupun ditengah masyarakat  adalah laki-laki. Hal tersebut Allah tegaskan dalam firman-Nya:

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ [النساء/34]

      “Kaum laki-laki adalah pemimpin kaum perempuan,…” (Qs. An-Nisaa’ (4) :34)

Penyimpangan dari ketetapan Allah tersebut tidak hanya merusak kepemimpinan laki-laki, tetapi juga mengakibatkan kerusakan yang meluas dalam kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat. Hal ini karena laki-laki yang lemah kemauannya dalam melaksanakan tugas-tugas  berat menegakkan kehidupan keluarga dan masyarakat. Suami atau ayah yang bermental lemah dan malas ini akan merusak perjalanan rumah tangganya karena berbagai kepentingan keluarga tidak terpenuhi, sehingga kebutuhan nafkah istri dan anaknya terlantar. Kemalasan dan kelemahan mental pada suami atau ayah pasti mengakibatkan malapetaka bagi keluarga. Bila hal itu melanda laki-laki secara umum, maka dapat dipastikan bahwa masyarakat akan mengalami kerusakan.

Kelemahan mental, kemalasan dan kerusakan cara berpikir kaum laki-laki terjadi karena kepemimpinan dirusak oleh kaum perempuan. Demikian pula dalam kehidupan rumah tangga, hal ini terjadi karena kepemimpinan suami dirusak oleh istri. Oleh karena itu para suami harus menyadari bahwa rusaknya kepemimpinan suami dalam rumah tangga akan mengakibatkan rusaknya kehidupan rumah tangga mereka semua disampin hal itu dipandang sebagai sikap durhaka istri kepada suami.

Bagaimana contohnya, bahwa seorang istri merusak kepempinan suami? Misalnya: “Seoranga istri memutuskan membeli meja kursi, padahal suaminya tidak diajak berunding sama sekali atau suaminya tidak setuju istri membeli meja kursi baru, tetapi istri tetap saja membelinya. Ini salah satu contoh istri telah merusak kepemimpinan dan kewibawaan suaminya ditengah-tengah keluarganya. Dengan tindakannya tersebut, sesungguhnya istri telah menciptakan ketegangan pada diri suaminya, bahkan membuat kepemimpinan suaminya hancur.

`Contoh lain, seorang istri diperintah suami untuk menyeterikakan baju atau celananya, tetapi  istri menunda perintah tersebut karena sementara berbincang dengan temannya semasa sekolah dahulu. Sikap istri yang demikian itu, telah jauh merusak kewibawaan suaminya di mata orang lain. Perbuatan yang demikian itu jelas akan merusak martabat kepemimpinan suami.

Pengrusakan terhadap kepemimpinan suami dilakukan oleh istri, karena disebabkan oleh beberapa hal, antara lain:

1. Suami dinilai kurang tegas dalam mengambil keputusan ketika menghadapi suatu masalah, sehingga istri merasa jengkel.

Sikap istri yang seperti itu akan merusak kepemimpinan suami karena istri secara emosional menuntut suami bertindak tegas menurut seleranya tanpa mempedulikan pemikiran dan pandangan suami mengenai persoalan yang dihadapi. Hal ini tidak boleh terjadi karena akan memperlemah sikap suami dalam menghadapi problem-problem keluaraga.

2. Pendidikan istri lebih tinggi dari suami sehingga istri merasa lebih tahu dan lebih mengerti daripada suami.

Hal seperti ini seharusnya tidak boleh terjadi karena kepandaian belum tentu menunjukkan kearifan dalam memimpin, kearifan dalam memimpin tidak harus memerlukan pendidikan tinggi atau ilmu yang banyak. Kepemimpinan lebih banyak dipengaruhi oleh tabiat atau watak dan fitrah seseorang. Kaum laki-laki secara fitrah telah diciptakan oleh Allah memiliki potensi memimpin. Oleh karena itu, istri tidak boleh menafikan fitrah kepemimpinan yang ada pada suami.

3. Istri merasa mampu membelanjai dirinya sendiri karena pandai mencari uang sehingga merasa tidak perlu kepemimpinan suami. Bahkan istri berusaha memimpin suami. Hal ini tidak boleh terjadi karena melemahkan semangat suami memimpin keluarga, terutama istrinya, karena merasa selalu diabaikan oleh istri.

Apapun alasan istri mengabaikan kepemimpinan suami  adalah suatu kedurhakaan yang harus dijauhi. Istri hendaknya menyadari bahwa perbuatan tersebut dapat mengakibatkan hal-hal yang tidak diinginkan, antara lain:

Suami merasa terasing dirumahnya sendiri. Suami yang diabaikan kepemimpinannya, apalagi sering ditentang perintah atau larangannya akan merasa terasing dirumahnya sendiri karena keberadaannya tidak dianggap oleh istri.

Timbul pertengkaran antara suami istri karena suami merasa jengkel terhadap sikap istri yang merendahkan kepemimpinannya atau melawan perintah dan larangannya. Pertengkaran tersebut dapat melunturkan runtuhnya kemesraan dan kencintaan mereka sehingga akan merenggangkan ikatan suami istri.

Kemungkinan suami akan berpaling kepada wanita lain  yang dinilai lebih cocok sifat dan karakternya dengan dirinya. Jika hal ini terjadi ikatan pernikahan dapat terputus. Hal tersebut tentu saja akan merugikan istri sendiri.

Timbul rasa tidak hormat anak-anak kepadanya karena istrinya selalu meremehkan kepemimpinannya. Jika hal ini terjadi, maka suami akan merasa terhina dirumahnya sendiri karena tidak dihargai oleh anak-anaknya. Hal ini akan menyulitkan pembinaan dan pengarahannya kepada anak-anaknya sebab suami atau ayah tidak dihormati oleh mereka.

Akibat-akibat buruk yang timbul karena tindakan istri yang tidak  mematuhi kepemimpinan suami sebagaimana diuraikan diatas hendaknya menjadi bahan pertimbangan istri agar tidak melakukan kedurhakaan tersebut. Istri hendaknya memperhatikan perintah Allah dan Rasul-Nya untuk menjadikan suami sebagai pemimpin rumah tangga dan tidak merusaknya. Dengan kepatuhan istri terhadap kepemimpinan suami, insya Allah rumah tangga akan berjalan dalam suasana sakinah dan penuh berkah.
Menentang perintah suami
Dalam konteks ini Rasulullah Saw. bersabda:

حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ حَدَّثَنَا أَيُّوبُ عَنِ الْقَاسِمِ الشَّيْبَانِىِّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِى أَوْفَى قَالَ قَدِمَ مُعَاذٌ الْيَمَنَ – أَوْ قَالَ الشَّامَ – فَرَأَى النَّصَارَى تَسْجُدُ لِبَطَارِقَتِهَا وَأَسَاقِفَتِهَا فَرَوَّأَ فِى نَفْسِهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَحَقُّ أَنْ يُعَظَّمَ فَلَمَّا قَدِمَ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ رَأَيْتُ النَّصَارَى تَسْجُدُ لِبَطَارِقَتِهَا وَأَسَاقِفَتِهَا فَرَوَّأْتُ فِى نَفْسِى أَنَّكَ أَحَقُّ أَنْ تُعَظَّمَ. فَقَالَ « لَوْ كُنْتُ آمِراً أَحَداً أَنْ يَسْجُدَ لأَحَدٍ لأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا ولا تُؤَدِّى الْمَرْأَةُ حَقَّ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْهَا كُلَّهُ حَتَّى تُؤَدِّىَ حَقَّ زَوْجِهَا عَلَيْهَا كُلَّهُ حَتَّى لَوْ سَأَلَهَا نَفْسَهَا وَهِىَ عَلَى ظَهْرِ قَتَبٍ لأَعْطَتْهُ إِيَّاهُ ».(مسند أحمد – (ج 42 / ص 218)
          
“(Berkata Imam Ahmad): Telah menceritakan kepada kami Isma’il. Telah menceritakan kepada kami Ayub dari Al Qasim Asy Syaibani dari Abdullah bin Abu Aufa ia berkata; Ketika Mu’adz sampai di negeri Yaman atau Syam, ia melihat orang-orang Nasrani sujud kepada para komandan dan ulamanya. Lalu terpikirkanlah di dalam hatinya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah lebih berhak. Maka ketika ia kembali, ia berkata, “Wahai Rasulullah, saya telah melihat orang-orang sujud kepada para komandan dan para ulama mereka, lalu terpikirkanlah di dalam hatiku bahwa Anda adalah lebih berhak untuk dimuliakan.” Maka beliau bersabda:

“Sekiranya saya boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain, niscaya saya akan memerintahkan wanita untuk sujud kepada suaminya.
Seorang wanita tidak dapat dikatakan telah memenuhi hak atas Allah ‘azza wajalla, sebelum  ia memenuhi hak suaminya atas dirinya.

Bahkan sekiranya suaminya meminta dirinya, sementara ia saat itu berada di atas pelana kendaraan, maka ia harus mentaatinya.”
Dalam riwayat lain dari Abu Hurairah ra:

حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ غَيْلاَنَ حَدَّثَنَا النَّضْرُ بْنُ شُمَيْلٍ أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَمْرٍو عَنْ أَبِى سَلَمَةَ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لأَحَدٍ لأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا ». (صحيح :سنن الترمذى – (ج 5 / ص 1)
  
“(Berkata Imam Tirmidzi): Telah menceritakan kepada kami Mahmud bin Ghailan, telah menceritakan kepada kami An Nadlr bin Syumail, telah menghabarkan kepada kami Muhammad bin ‘Amr dari Abu Salamah dari Abu Hurairah dari Nabi r bersabda: “Sekiranya saya boleh memerintahkan seseorang untuk bersujud kepada orang lain, niscaya aku perintahkan seorang istri bersujud kepada suaminya.”

Di dalam rumah tangga, perintah yang harus ditaati oleh seorang istri adalah perintah suaminya, begitu juga larangan yang harus ditaati oleh istri adalah larangan suaminya, selama perintah dan larangan suami tersebut tidak menyalahi ajaran Islam. Sekiranya perintah dan larangan suami tersebut tidak ditaati atau tidak digubris oleh istri, maka di dalam hadits tersebut Rasulullah Saw. menegaskan bahwa perbuatan istri tersebut sama dengan mengabaikan ketetapan Allah. Hal tersebut sangat beralasan, karena Allah telah memberikan kedudukan kepada suami sedemikian rupa dan menggariskan ketentuan bahwa mentaati perintah dan larangan suami berarti mentaati syariat Allah. Tidak mentaati suami sama halnya dengan mengabaikan perintah Allah dan Rasul-Nya untuk mentaati suami.

Di dalam sabdanya tersebut dengan jelas Nabi Saw. menegaskan bahwa: “Seorang perempuan tidak akan dapat dikatakan memenuhi hak Tuhannya sebelum dia menunaikan hak-hak suaminya terhadap dirinya.” Dalam konteks ini bukan berarti kedudukan suaminya sederajat dengan kedudukan Allah. Hanya saja hadits ini menerangkan bahwa: “Jika hak suami untuk ditaati itu dilanggar oleh istri, sedangkan perintah dan larangan suami itu sesuai dengan ketentuan Allah Ta’ala, maka itu artinya istri telah melanggar ketentuan Allah Ta’ala. Perintah dan larangan suami yang ditujukan kepada istrinya tentu saja perintah dan larangan yang berkenaan dengan urusan rumah tangga, bukan bertalian dengan urusan aqidah atau ibadah.

Para suami telah diberi kedudukan yang istimewa oleh Allah Ta’ala dalam rumah tangga, maka sudah sepantasnya bila suami mendapatkan ketaatan dari istrinya. Oleh karena itu, apabila istri menentang perintah suami, padahal perintah itu tidak bertentangan dengan syariat Islam, dalam hal ini berarti istri telah mengabaikan hak suami. Pengabaian terhadap hak suami jelas merupakan kedurhakaan kepada suami. Demikian juga, pengabaian terhadap larangan suami berarti juga pengabaian terhadap haknya suami. Dengan demikian, istri dikatakan durhaka kepada suaminya bila perintah dan larangannya diabaikan.

Dalam kehidupan berumahtangga istri menentang perintah suami disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya:

Perintah suami dinilai tidak benar menurut ajaran agama. Bila demikian halnya, maka istri tidak dapat dikatakan telah menentang perintah suaminya. Justru yang ada adalah istri mencoba meluruskan dan mengingatkan suami agar tidak meneruskan kesalahannya. Oleh karena itu, istri yang menjadikan hal itu sebagai alasannya, maka seyogyanya harus tetap pada pendiriannya, yaitu menentang perintah yang tidak benar tersebut supaya diri dan keluarganya bisa selamat dari api neraka.
Istri merasa dapat hidup mandiri sehingga tidak perlu repot-repot taat kepada perintah suami, sebab ia merasa bahwa menurut teori kesetaraan jender laki-laki dan perempuan itu setara dalam segala hal. Menurut pendapatnya, istri boleh patuh dan taat kepada suami selama istri menggantungkan penghidupannya kepada suami. Berbeda halnya, bila istri telah memiliki kemampuan untuk hidup mandiri, dimana seluruh keabutuhan hidupnya secara materiil dapat dipenuhinya sendiri, maka tentu saja ia tidak perlu lagi taat kepada suaminya. Bagi istri yang seperti ini suami hanya sekedar pelengkap saja di dalam kehidupan berumah tangga. Oleh karena itu, tidak ada pihak yang boleh memerintah dan harus dipatuhi dalam kehidupan berumahtangga. Semuanya mempunyai kedudukan yang sama.
Alasan yang demikian itu salah besar, karena apapun kedudukan istri dan seberapapun kekayaannya, maka tetap saja ia harus tunduk dan patuh kepada suaminya selama suaminya tidak melanggar syariat Allah.

Istri berasal dari lingkungan keluarga yang menganut sistem martiahat di dalam membentuk keluarga, dimana perempuan ditempatkan sebagai kepala dan penguasa keluarga. Dalam sistem masyarakat yang demikian itu, seorang suami tidak mempunyai wewenang di dalam memimpin dan mengatur keluarganya, karena suami dikendalikan oleh istri, pihak keluarga istri dan pihak mamaknya.
Sistem masyarakat yang demikian itu bertentangan dengan syariat Islam. Oleh karena itu, seorang muslimah tidak dibenarkan menjadikan sistem budaya yang keliru tersebut sebagai pandangan hidupnya dan mengatur kehidupannya dalam berumah tangga. Islam mengajarkan kepada para istri untuk patuh dan taat kepada suaminya, apapun status sosial dan latarbelakang budayanya.
Istri merasa lebih pandai dalam memecahkan segala problem dalam kehidupan sosial kemasyarakatan karena tingkat pendidikannya lebih tinggi. Istri menganggap bahwa dirinyalah yang lebih mengetahui kebenaran. Karena itu, apabila suami memberikan perintah kepadanya, maka dia menilai bahwa perintah itu tidak patut ditujukkan kepadanya, sebab suami dianggapnya tidak memiliki kemampuan berpikir yang baik.

Perilaku istri yang seperti itu tidak pantas dilakukan oleh seorang muslimah, apalagi kesombongan merupakan perbuatan yang dekat dengan kekufuran. Mengingkari kemampuan orang lain untuk dapat mengetahui yang benar adalah karakter orang-orang kafir seperti yang diperagakan oleh Fir’aun, Namrud, Abu Lahab, Abu Jahal dan lain-lain gembong kekafiran. Istri yang menganggap bahwa dirinya lebih tahu yang benar dari pada suaminya berarti telah berbuat durhaka terhadap Allah dan merendahkan martabat suaminya.
Istri seperti ini sesungguhnya termasuk perempuan yang tidak berakal, karena sekiranya sudah mengetahui bahwa suaminya lebih bodoh dan tidak mengetahui kebenaran, mengapa dia bersedia untuk menjadi istrinya? Bukankah tindakan yang demikian itu sebagai bukti kebodohannya? Sebab orang yang berakal tentu saja tidak mau mempunyai keturunan dari orang yang bodoh.

Para suami yang mendapati istrinya menentang perintah atau larangannya hendaklah melakukan pencegahan untuk menghindari kedurhakan lebih lanjut. Ia harus melakukan perbaikan secara bertahap. Suami juga hendaknya menanamkan ajaran dan didikan agama kepada istrinya agar kedurhakaan tersebut tidak berulang kembali.

Suami yang beranggapan bahwa terhadap penentangan istrinya tidak perlu dilakukan upaya pencegahan dan ia bersikap masa bodoh, berarti ia membiarkan tumbuh suburnya suasana tidak sehat didalam rumah tangganya. Membiarkan istri berbuat dosa karena menentang perintah suami adalah suatu dosa dan berarti telah menempuh perjalanan dosa dalam rumah tangganya. Dampaknya adalah akan merusak suasana kehidupan Islami di dalam rumah tangganya. Maka dari itu, suami tidak boleh membiarkan sikap dan suasana demikian itu tumbuh dan berkembang di dalam rumah tangganya.

Sebaliknya istri yang menyadari bahwa ia telah melakukan keadurhakaan terhadap suaminya berupa penentangan terhadap perintah atau larangannya, hendaklah segera meminta maaf kepada suami dan bertobat kepada Allah. Adapun suami yang telah mendapati istrinya mau meminta maaf, hendaklah dia berlapang-dada dan mau memaafkannya. Selanjutnya suami dan istri sama-sama berupaya menghayati dan memperdalam tuntunan agama dan menciptakan rumah tangga yang bahagia.

Semoga bermanfaat
Wassalam
Endang Gunawan, S.Pd.I

Tuesday, July 14, 2015

Perilaku-perilaku Durhaka Suami Terhadap Istri Yang Dibenci Allah

Perilaku-perilaku Durhaka Suami Terhadap Istri Yang Dibenci Allah

Tanpa kita sadari dalam kehidupan keluarga tidak jarang para suami melakukan tindakan yang menyimpang dari ketentuan Allah SWT dan telah melanggar hak-hak isterinya. Oleh karena itu perlu sekali para suami mengetahui perbuatan-perbuatan yang oleh islam dikategorikan sebagai tindakan durhaka terhadap istri adapun beberapa perilaku yang sering suami lakukan adalah sebagai berikut  :

1. Menjadikan Istri Sebagai

Pemimpin Rumah Tangga
Dari Abu Bakrah,ia berkata:”Rasulullah saw.bersabda: ‘tidak akan beruntung suatu kaum yang dipimpin oleh seorang wanita.’ “(HR.Ahmad n0.19612 CD,Bukhari,Tirmidzi,dan Nasa’i)
Rasul menyampaikan bahwa suatu kaum (termasuk didalamnya suami)tidak akan pernah memperoleh kejayaan atau keberuntungan bila menjadikan seorang wanita (termasuk istri) menjadi seorang pemimpin. bentuk ketidak beruntungan ini adalah hilangnya wibawa suami sehingga memberi peluang untuk istri berlaku sesukanya dalam mengatur rumah tangga tanpa memperdulikan pendapat suami (istilah kerennya IPSTI=ikatan Para Suami Takut Istri). menyuruh istri mencari nafkah dan mengatur urusan rumah tangga termasuk menjadikan istri sebagai pemimpin. Suami yang berbuat demikian berarti melanggar ketentuan yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya.beberapa faktor pentebab kedurhakaan ini:

suami seorang pemalas yang enggan memikul tanggung jawab sebagai kepala rumah tangga.

suami telah uzdur sehingga tidak bisa menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai pemimpin rumah tangga

suami terlalu sibuk dengan pekerjaannya dan hobinya sehingga tidak bisa mengurus kepentingan keluarga selain hanya membaeri uang belanja. tanggung jawab suami tidak hanya member nafkah, tapi juga harus membimbing isri dan anak anak dalam pembinaan akhlaq,aqidah,dan pergaulan sehari hari.

Mengingat besarnya tanggung jawab dan akibat yang ditimbulkan akibat kedurhakaan ini, suami wajib menghindari perbuatan tersebut. dan segera meminta maaf terhadap Istri dan bertaobat kepada Allah SWT.

2. Menelantarkan Belanja Istri

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr,ia berkata:”Rasululluah bersabda:’seseorang cukup dipandang berdosa bila ia menelantarkan belanja orang yang menjadi tanggung jawabnya.’” (HR.Abu Dawud no.1442 CD,Muslim,Ahmad,dan Thabarani)
hadist tersebut menerangkan bahawa suami yang menelantarkan belanja istri dan anaknya berarti telah melakukan dosa. Seorang majikan yang menelanrtarkan gaji karyawannya sehingga merekan tidak bisa memenuhi kebutuhannya juga dikatakan dosa. Begitu juga seorang pemimpin yang menelantarkan kebutuhan rakyatnya,maka ia berdosa.Sudah menjadi ketetapan jika suami harus memberikan belanja kepada istri missal untuk makan minum,pakaian,dll sesuai dengan tingkat kemampuannya.bila tidak maka suami telah durhaka terhadap istrinya.

Dari”Asyah ra,bahwa Hindun binti Utbah pernah berkata:’Wahai Rasulullah,sesungguhnya Abu Sufyan adalah orang yang kikir dan tidak mau memberikan kepadaku belanja yang cukup untuk aku dan anakku, sehingga terpaksa aku mengambil dari hartanya tanpa sepengetahuannya. ”beliau besabda:’Ambillah sekadar cukup untuk dirimu dan anakmu dengan wajar.” (HR.Bukhari no.4945 CD,Muslim,Nasa’i,Abu dawud,Ibnu Majah,Ahmad,dan Darimi)

Hadist ini menerangkan bahwa istri yang diberi nafkah tidak sesuai dengan kebutuhannya padahal mempunyai harta yang cukup maka diperbolehkan mengambil sendiri harta itu tanpa sepengetahuan suaminya sekadar untuk memenuhi kebutuhannya dan anaknya secara wajar. Suami yang melakukan kedurhakaan ini mungkin disebabkan oleh :

Suami kesal terhadap sikap boros istrinya,menurutnya istri tidak dapat mengatur keuangan dengan baik sehingga suami melakukan tindakan seperti itu. Tindakan tersebut tidak benar,jka suami melihat istrinya boros,tindakan pengajarannya tidak dengan mengabaikan belanja istri tapi dengan cara lain yang sekiranya tanpa mengabaikan tanggung jawab suami terhadap istri

Suami punya selingkuhan,sehingga lupa akan istrinya dan keluarganya
Suami lebih mementingkan kegemarannya sendiri (egois).

Istri punya penghasilan sendiri jadi suami beranggapan tidak perlu lagi memberi uang belanja sendiri

Suami lebih mementingkan saudaranya. Hal ini sungguh kesalahan yang besar karena orang yang wajib ditanggungnya adalah orang tuanya, istri dan anaknya, bukan saudaranya.

Suami hendaknya menyadari bahwa selama ia menelantarkan belanja istri,selama itulah ia berdosa kepada istrinya. Oleh karena itu ia wajib meminta maaf kepada istrinya dan selanjutnya bertaubet kepada Allah. Ia wajib menyadari bahwa tidak membelanjai istri termsuk mendurhakai Allah SWT. Dosanya tidak hanya kepada istri tapi juga terhadap Allah SWT.

3. Tidak Memberi Tempat Tinggal Yang Aman

“Tempatkanlah mereka(para istri)di tempat kalian bertempat tinggal menurut kemampuan kalian dan janganlah menyusahkan mereka untuk menyempitkan(hati) mereka. Jika mereka(istri yang di thalaq) itu sedang hamil,berikanlah kepada mereka nafkahnya sampai mereka melahirkan…” (QS.Ath-Thalaaq(65):6)

Allah menjelaskan untuk para suami yang menceraikan istrinya diwajibkan untuk tetap memberikan tempat tinggal untuknya selama masa iddah dan tidak boleh mengurangi belanja istrinya atau mengusirnya dari rumah karena ingin menyusahkan hatinya atau memaksanya mengembalikan harta yang pernah diberikan kepadanya atau tujuan lain. Jika mantan istrinya yang masih dalam masa iddah saja harus mendapatkan hak nafkan dan tempat tinggal yang baik,maka lebih utama dan lebih wajib lagi bagi istri sahnya untuk mendapatkan perlakuan yang lebih baik dari pada itu.

4. Tidak Melunasi Mahar

Dari Maimun Al-Kurady,dari bapaknya,ia berkata:”saya mendengar nabi saw. (bersabda): ’siapa saja laki laki yang menikahi seorang perempuan dengan mahar sedikit atau banyak, tetapi dalam hatinya bermaksud tidak akan menunaikan apa yang menjadi hak perempuan itu,berarti ia telah mengacuhkannya. Bila ia mati sebelum menunaikan hak perempuan itu,kelakpada hari kiamat ia akan bertemu dengan Allah sebagai orang yang fasiq…’” (HR.Thabarani,Al-Mu;jamul,Ausath II/237/1851 CD)

Menurut Hadist ini seorang suami yang telah menetapkan mahar untuk istrinya,tetapi kemudian tidak membayarkan mahar yang dijanjikan kepada istrinya,berarti menipu atau mengicuh istrinya. Jika ia tidak memiliki mahar maka ia boleh mengutang kepada istrinya. Dalam QS.Al-Baqarah(2):237 menerangkan bahwa “jika kalian menceraikan istri istri kalian sebelum kalian bercampur dengan mereka, padahal kalian sudah menentukan maharnya, bayarlah separuh dari mahar yang telah kalian tentukan itu, kecuali jika istri istri kalian itu telah memaafkan atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah. Pemberian maaf kalian itu adalah lebih dekat kepada taqwa. Janganlah kalian melupakan kebaikan antara sesama kalian.sesungguhnya Allah maha melihat apa yang kalian kerjakan.”.

Suami yang berutang mahar kepada istrinya dengan niat tidak akan melunasinya harus mempertanggung jawabkannya di akhirat kelak. Suami yang tidak melunasi maharnya mungkin sekali disebabkan oleh faktor faktor :

Suami beranggapan bahwa mahar sudah tidak perlu lagi ia berikan karena sekarang sudah menjadi satu keluarga,menurutnya tidak ada perhitungan hutang piutang bagi orang yang sudah terikat dalam hubungan suami istri.

Istri tidak pernah menagih sehingga suami beranggapan istri tidak lagi memerlukannya.

Apapun alasan yang menjadikan dasar untuk suami melakukan kedurhakaan ini tetap tidak dibenarkan. Karena segala macam utang wajib dilunasi baik oleh suami maupun istri dan untuk melunasinya tidak perlu menunggu ditagih.

5. Menarik Mahar Tanpa Keridhaan Istri

(20)“jika kalian (para suami) ingin mengganti istri dengan istri yang lain,sedang kalian telah memberikan kepada salah seorang diantara mereka itu mahar yang banyak, janganlah kalian mengambilnya kembali sedikitpun. Apakah kalian kalian akan mengambilnya kembali dengan cara cara yang licik dan dosa yang nyata?(21). Bagaimana kalian akan mengambilnya kembali, sedangkan kalian satu dengan lainnya sudah saling bercampur (sebagai suami istri) dan mereka (istri istri kalian) telah membuat perjanjian yang kokoh dngan kalian,”(QS.An-Nisaa’(4):20-21)

Ayat tersebut dengan teas mencela suami yang memnta atau menarik kembali mahar yang telah diberikan kepada istrinya,baik sebagian maupun seluruhnya. Tujuan islam menetapkan mahar dalam perkawinan adalah untuk menghormati kedudukan istri yang pada jaman sebelum islam tidak mendapatkan hak untuk memiliki dan menguasai harta kekayaan apapun, baik dari orang tuanya maupun suaminya. Disamping itu mahar merupakan lambing kekuasaan perempuan yang diberikan oleh islam untuk menentukan pilihan atas laki laki yang akan mempersuntingnya.faktor yang menyebabkan suami melakukan tindakan ini mungkin disebabkan oleh :

Suami kesal atas perlakuan dan pelayanan istrinya yang dianggapnya tidak sesuai dengan harapanya.cara ini jelas salah karena suami hendaknya menasehati dengan cara cara yang sudah ditetapkan dalam syari’at islam

Suami hendak mendapatkan modal kerja. jika ini terjadi suami hendaknya meminta ijin kepada istrinya dan jika istri menolak maka tidak boleh mengambilnya secara paksa

Suami ingin menikah lagi. tindakan ini jug tidak benar karena suamin harus mengetahui bahwa istri juga punya hak untuk tidak dimadu

Suami yang terlanjur menarik maharnya hendaknya segera meminta maaf kepada istriya dan memohon ampun kepada Allah SWT.

6. Melanggar Persyaratan Istri

“hai orang orang yang beriman,penuhilah janji janji kalian..”(QS.Al-Maaidah(5):1)
“Dari Uqbah bin “Amir ra,ia berkata: ”Rasulullah saw bersabda:’Syarat yang palling berhak untuk kalian penuhi ialah syarat yang menjadikan kalian halal berwenggama dengan istri kalian.’”(HR.Bukhari no 2520 CD,Muslim,Tirmidzi,Abu Dawud,Ibnu Majah,Ahmad dan Darimi)

Allah memerintahkan orang orang yang beriman untuk memenuhi janji yang dibuatnya dengan orang orang yang terlibat dengan perjanjian. Dalam Hadist tersebut Rasulullah saw menerangkan suami istri harus memenuhi perjanjian yang telah dibuatnya,bahkan perjanjian seperti itu paling patut dipenuhi dengan  sebaik baiknya. Islam membenarkan pemberian syarat yang diajukan oleh pihak istri maupun keluarga istri selama tidak bertentangan dengan syariat islam kepada calon suami.

7. Mengabaikan Kebutuhan Seksual Istri

Dari anas ra,Nabi saw bersabda:”jika seseorang diantara kalian bersenggama dengan istrinya, hendaklah ia melakukannya dengan penuh kesungguhan. Selanjutnya, bila ia telah menyelesaikan kebutuhannya (mendapat kepuasan) sebelum istrinya mendapatkan kepuasan, janganlah ia buru buru (mencabut penisnya) sampai istrinya menemukan kepuasan.”(HR.’Abdur Razzaq dan Abu Ya’la, Jami’ Kabir II/19/1233)

Rasullullah saw bersabda:”janganlah sekali kali seseorang diantara kalian menyenggamai istrinya seperti seekor hewanbersenggama,tetapi hendaklah ada pendahuluan diantara keduanya.’ada yang bertanya”apakah pendahuluan itu? ”beliau bersabda :”ciuman dan ucapan (romantis).” (HR Abu Syaikh)

Memenuhi kebutuhan seksual istri yaitu mengusahakan agar istri mendapatkan kepuasan sebagaimana yang suami dapatkan. Bagaimanapun caranya (minum jamu kek, olah raga kek,minum obat kuat kek atow ke make rot ) pokoknya suami harus berusaha  dan memperhatikan kebutuhan seksual istri dan tidak boleh mengabaikannya karena berarti melanggar perintah agama.

8. Menyenggamai Istri Saat Haidh

“mereka bertanya kepadamu tentang haidh, katakanlah:’ haidh itu adalah suatu kotoran.’ Oleh karena itu,hendaklah kalian menjauhkan dirindari wanita pada waktu haidh dan janganlah kalian mendekati mereka sebelum mereka bersuci. Apabila mereka telah suci, campurilah mereka ditempat yang diperintahkan Allah kepada kalian. Sesungguhnya Allah menyukai orang orang yang bertaubat dan menyukai orang orang yang menyucikan diri.” (QS Al-Baqarah(2):222)

Wanita yang sedang haidh berada dalam keadaan sakit.maksudnya ialah mengalami keadaan yang membuat kesehatannya terganggu karena keluarnya darah kotor dari dalam rahimnya. Menyenggamai istri saat haidh adalah suatu perbuatan yang dilarang karena sama halnya dengan menyakitinya dan merupakan suatu tindakan yang mengganggu keselamatannya. Di sebut darah kotor karena didalamnya terkandung bibit penyakit yang jika dipaksa melakukan hubungan sekseual bakteri baketri tersebut tidak hanya menjangkiti milik istri tapi juga milik laki laki juga ikut terserang. Lagi pula apa nggak ngerasa jijik apa? selain itu wanita yang dalam keadaan nifas uga dilarang utnuk disetubuhikaren menurut ahli bagian dalam dari alat vitalnya terluka jadi tidak memungkinkan untuk diajak bersetubuh. Dalam kehidupan berumah tangga bukan tidak mungkin suami melakukan tindakan ini. Hal ini mungkin dilakukan dikarenakan :

Suami tidak bisa menahan diri (hypersex) untuk tidak bercampur dengan istrinya

Suami ingin melakukan keluarga berencana.melakukan KB boleh tapi tidak dengan cara ini.

Sungguh berdosa bagi suami yang melakukan perbuatan keji yang menyakiti dirinya dan istrinya.

9. Menyenggamai Istri lewat Duburnya

Dari Ibnu Abbas, ia berkata:”’Umar (Ibnu Khaththa) datang kepada Rosulullah saw.,ia bertanya:’Ya Rosullullah, saya telah binasa.’ Beliau bertanya:’apa yang menyebabkan kamu binasa?’ Ia menjawab:’semalam saya telah membalik posisi istriku. akan tetapi beliau tidak menjawab sedikitpun, lalu turun kepada Rosulullah saw ayat. ’istri kalian adalah lading bagi kalian,maka datangilah lading kalian dimana dan kapan saja kalian kehendaki. ’(selanjutnya Beliau bersabda: ’Datangilah dari depan atau belakang,tetapi jauhilah dubur dan ketika haidh.’”( HR Tarmidzi no.2906)

Perbuatan menyenggamai istri pada duburnya merupakan tindakan yang membinasakan pribadi muslim,srtiap suami muslim wajib menjauhinya, karena hal ini merupakan tindakan yang dimurkai oleh Allah dan merupakan kedurhakaan terhadap istri.

10. Menyebarkan Rahasia Hubungan Dengan Istri

Hubungan suami istri haruslah dilakukan ditempat yang tidak terlihat orang lain,bahkan suaranya pun tak boleh terdengar orang lain.

Suami istri wajib menjaga kehormatan masing masing apalagi dihadapan orang lain. Suai yang menyebarkan rahasia diri dan istrinya ketika bersenggama berarti telah melakukan perbuatan durhaka terhadap istri.

11. Menuduh Istri Berzina

(6) “dan orang orang yang menuduh istri mereka berzina, padahal mereka tidak mempunyai saksi saksi selain diri mereka sendiri,maka kesaksian satu orang dari meeka adalah bersumpah empat kalli dengan nama Allah bahwa sesungguhnya dia adalah termasuk orang orang yang benar(dalam tuduhannya) (7) dan kelima kalinya(ia mengucapkan) bahwa laknat Allah akan menimpa dirinyajika ternyata ia tergolong orang orang yang berdusta.” (QS.An-Nuur (24):6-7)

Ayat tersebut memberi ketentuan untuk melindungi istri dari tuduhan suami. Karena tuduhan itu dapat merusak kehormatan dan harga diri istri. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengaturan ketat agar suami tidak sembarangan menuduh istrinya berzina tanpa bukti yang dipertanggung jawabkan menurut syariat Islam.

12. Memeras Istri

“ …dan janganlah kalian menerukan ikatan pernikahan dengan mereka(istri-istri) guna menyusahkan mereka. Barang siapa berbuat demikian, maka sungguh dia telah menganiaya dirinya sendiri…” (QS.Al-Baqarah(2):231)

Motif yang menyebabkan suami tega melakukan perbuatan tercela ini mungkin adalah sebagai berikut :

Suami bermaksud mendapatkan harta istri melalui permintaan cerai istri,karena dalam islam jika istri minta cerai suami berhak mengambil kembali maharnya atau minta tebusan istri

Suami ingin menikah lagi, jadi membuat tipu daya agar istri tidak tahan lalu minta cerai
Suami ingin hidup enak tanpa bekerja keras.

13. Merusak Martabat Istri

Dari mu’awiyah Al-Qusrayiri,ia berkata:”saya pernah datang kepada Rosulullah saw.’ Ia berkata lagi:’saya lalu bertanya:’Ya Rosulullah,apa saja yang engkau perintahkan(untuk kami perbuat)terhadap istri-istri kami?

’Beliau bersabda: janganlah kalian memukul dan janganlah kalian menjelek-jelekan mereka.’” (HR Abu Dawud no 1832)

Nabi saw melarang para suami menjelek jelekan atau merendahkan martabat istri. Suami dilarang menggunakan kata yang bernada merendahkandan menghina martabat istri baik di hadapannya maupun dihadapan orang lain. Walaupun istri berasal dari keluarga yang lebih rendah status ekonominya dibanding dirinya.

Adapun tindakan tindakan tercela suami terhadap istri yang lainnya yang tidak sempat dante jabarkan diblog ini karena memang waktunya tidak cukup jika semua dijabarkan satu persatu. Adalah sebagai berikut :

14. Memukul (Tanpa Peringatan Terlebih Dahulu)

15. Menyenangkan Hati Istri Dengan Melanggar Agama

16. Mengajak Istri Berbuat Dosa

17. Memadu Istri Dengan Saudari Atau Bibinya

18. Berat Sebelah Dalam Menggilir Istri

19. Menceraikan Istri Solehah

20. Mengusir Istri Dari rumah

Demikianlah beberapa perbuatan tercela yang dibenci Oleh Allah SWT dan merupakan kedurhakaan terhadap istri yang jika para suami langgar maka rahmat dan nikmat Allah tidak akan mereka rasakan.

Semoga Bermanfaat.

Wassalam
Endang Gunawan, S.Pd.I

Sunday, July 12, 2015

Wanita itu Istimewa

WANITA itu ISTIMEWA tetapi Mengapa BANYAK masuk NERAKA ?

Kadang saya HERAN,  menurut Rasulullah shalallaahu 'alaihi wa sallam kebanyakan penduduk neraka adalah wanita.

“Aku melihat ke dalam Surga maka aku melihat kebanyakan penduduknya adalah fuqara (orang-orang fakir) dan aku melihat ke dalam neraka maka aku menyaksikan kebanyakan penduduknya adalah wanita.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas dan Imran serta selain keduanya)

Padahal pintu-pintu kebaikan dan pintu-pintu surga terbuka buat wanita, dan Allah telah memudahkan wanita untuk masuk ke dalam surga, dan wanita telah mendapatkan
KELEBIHAN dan KEISTIMEWAAN:
Wanita yang solehah (baik) itu lebih baik daripada 70 orang pria yang sholeh.

Wanita yang tinggal bersama anak-anaknya akan tinggal bersama aku (Rasulullah S.A.W.) di dalam syurga.

Barang siapa mempunyai tiga anak perempuan atau tiga saudara perempuan atau dua anak perempuan atau dua saudara perempuan, lalu dia bersikap ihsan dalam pergaulan dengan mereka dan mendidik mereka dengan penuh rasa takwa serta bertanggungjawab, maka baginya adalah syurga.

Daripada Aisyah r.a. “Barang siapa yang diuji dengan se Suatu daripada anak-anak perempuannya, lalu dia berbuat baik kepada mereka, maka mereka akan menjadi penghalang baginya daripada api neraka."
Syurga itu di bawah telapak kaki ibu.

Wanita yang taat berkhidmat kepada suaminya akan tertutup pintu-pintu neraka dan terbuka pintu-pintu syurga. Masuklah dari mana-mana pintu yang dia kehendaki dengan tidak dihisab.

Wanita yang taat akan suaminya, semua ikan-ikan di laut, burung di udara, malaikat di langit, matahari dan bulan, semuanya beristighfar baginya selama mana dia taat kepada suaminya dan direkannya (serta menjaga sembahyang dan puasanya).

Perempuan apabila sembahyang lima waktu, puasa bulan Ramadan, memelihara kehormatannya serta taat akan suaminya, masuklah dia dari pintu syurga mana saja yang dia kehendaki.

Tiap perempuan yang menolong suaminya dalam urusan agama, maka Allah S.W.T. memasukkan dia ke dalam syurga lebih dahulu daripada suaminya (dengan jarak 10,000 tahun perjalanan).

Apabila seseorang perempuan mengandung janin dalam rahimnya, maka beristighfarlah para malaikat untuknya. Allah S.W.T. mencatatkan baginya setiap hari dengan 1,000 kebaikan dan menghapuskan darinya 1,000 kejahatan.

Apabila seseorang perempuan mulai sakit hendak bersalin, maka Allah S.W.T. mencatatkan baginya pahala orang yang berjihad pada jalan Allah S.W.T.

Apabila seseorang perempuan melahirkan anak, keluarlah dia daripada dosa-dosa seperti keadaan ibunya melahirkannya.

Apabila telah lahir (anak) lalu disusui, maka bagi ibu itu setiap satu tegukan daripada susunya diberi satu kebajikan.

Apabila semalaman (ibu) tidak tidur dan memelihara anaknya yang sakit, maka Allah S.W.T. memberinya pahala seperti memerdekakan 70 orang hamba dengan ikhlas untuk membela agama Allah S.W.T.

Seorang wanita solehah adalah lebih baik daripada 70 orang wali.
Seorang wanita yang jahat adalah lebih buruk dari pada 1,000 pria yang jahat.

Rakaat solat dari wanita yang hamil adalah lebih baik daripada 80 rakaat solat wanita yang tidak hamil.

Wanita yang memberi minum air susu ibu (asi) kepada anaknya daripada badannya (susu badannya sendiri) akan dapat satu pahala dari pada tiap-tiap titik susu yang diberikannya.

Wanita yang melayani dengan baik suami yang pulang ke rumah di dalam keadaan letih akan mendapat pahala jihad.

Wanita yang melihat suaminya dengan kasih sayang dan suami yang melihat isterinya dengan kasih sayang akan dipandang Allah dengan penuh rahmat.

Wanita yang menyebabkan suaminya keluar dan berjuang ke jalan Allah dan kemudian menjaga adab rumah tangganya akan masuk syurga 500 tahun lebih awal daripada suaminya, akan menjadi ketua 70,000 malaikat dan bidadari dan wanita itu akan dimandikan di dalam syurga, dan menunggu suaminya dengan menunggang kuda yang dibuat daripada yakult.

Wanita yang tidak cukup tidur pada malam hari kerana menjaga anak yang sakit akan diampunkan oleh Allah akan seluruh dosanya dan bila dia hiburkan hati anaknya Allah memberi 12 tahun pahala ibadat.
Wanita yang memerah susu binatang dengan “bismillah” akan didoakan oleh binatang itu dengan doa keberkatan.

Wanita yang menguli tepung gandum dengan “bismillah”, Allah akan berkatkan rezekinya.

Wanita yang menyapu lantai dengan berzikir akan mendapat pahala seperti meyapu lantai di baitullah.

Wanita yang hamil akan dapat pahala berpuasa pada siang hari.
Wanita yang hamil akan dapat pahala beribadat pada malam hari.

Wanita yang bersalin akan mendapat pahala 70 tahun solat dan puasa dan setiap kesakitan pada satu uratnya Allah mengaruniakan satu pahala haji.

Sekiranya wanita mati dalam masa 40 hari selepas bersalin, dia akan dikira sebagai mati syahid.

Jika wanita melayani suami tanpa khianat akan mendapat pahala 12 tahun sholat.

Jika wanita menyusui anaknya sampai cukup tempo(2½ thn),maka malaikat-malaikat dilangit akan khabarkan berita bahwa syurga wajib baginya. Jika wanita memberi susu badannya kepadna anaknya yang menangis, Allah akan memberi pahala satu tahun solat dan puasa.

Jika wanita memijat suami tanpa disuruh akan mendapat pahala 7 tola emas dan jika wanita memijat suami bila disuruh akan mendapat pahala 7 tola perak.

Wanita yang meninggal dunia dengan keredhaan suaminya akan memasuki syurga.

Jika suami mengajarkan isterinya satu masalah akan mendapat pahala 80 tahun ibadat.

Semua orang akan dipanggil untuk melihat wajah Allah di akhirat, tetapi Allah akan datang sendiri kepada wanita yang memberati auratnya yaitu memakai purdah di dunia ini dengan istiqamah.

Wallahu a’lam bishowab
Semoga dapat mengambil hikmahnya dan mengamalkannya.

Wassalam
Endang Gunawan, S.Pd.I

Ketaatan Istri Kepada Suami

Wahai Istri, Taat Suami Salah Satu Kunci Surga!

“JIKA seorang istri melakukan shalat lima waktu, puasa di bulan ramadhan, memelihara kemaluannya dan menaati suaminya, niscaya dia akan memasuki surga Tuhannya,” demikian hadits Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم)   yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad.

Bahkan dalam hadits lain disebutkan, “Jika aku boleh menyuruh seseorang untuk sujud kepada orang lain, tentu aku akan menyuruh seorang istri untuk sujud kepada suaminya.” (HR. Ahmad, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah). Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, “Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam hal bermaksiat kepada Khalik (Sang Pencipta).” (HR. Ahmad).

Syariat Islam telah mengatur hak suami terhadap istri dengan cara menaatinya (selama ia tidak keluar dari Syariat dan hukum Allah). Istri harus menaati suami dalam segala hal yang tidak berbau maksiat, berusaha memenuhi segala kebutuhannya sehingga membuat suami ridha kepadanya.

Bagai aktivis perempuan di mana ia telah terpenjara oleh kampanye Barat tentang “kesetaraan”, hadits ini pasti merisaukan. Sebab, baginya, ketaatan pada suami hanya akan membuatnya menjadi “sub-ordinasi” kaum pria.

Hanya orang-orang yang rela dan ridho melaksakan perintah Allah Subhanahu Wata’ala, yang di dadanya dipenuhi nikmat Iman dan Islam saja yang mampu mentaati perintah suaminya.

Ia rela  menjauhi sesuatu, jika suami melarangnya. Ia berlapang dada jika suami menasihatinya. Bahkan ia rela tidak menerima tamu pria –baik kerabat jauh sekalipun– ketika suami bepergian atau berada di luar rumah.
Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi
Wasallam (صلى الله عليه و سلم)  bersabda, “Ketahuilah bahwa kalian mempunyai hak atas istri kalian dan istri kalian juga mempunyai hak atas kalian.

Adapun hak kalian atas istri kalian adalah tidak mengizinkan orang yang kalian benci untuk memasuki rumah kalian.” (HR. At-Tirmidzi)

Istri Yang Taat
Istri yang taat adalah istri yang mengetahui kewajibannya dalam agama untuk mematuhi suaminya dan menyadari sepenuh hati betapa pentingnya mematuhi suami. Istri harus selalu menaati suaminya pada hal-hal yang berguna dan bermanfaat, hingga menciptakan rasa aman dan kasih sayang dalam keluarga agar perahu kehidupan mereka berlayar dengan baik dan jauh dari ombak yang membuatnya bergocang begitu hebat.

Sebaliknya, Islam telah memberikan hak seorang wanita secara penuh atas suaminya, di mana Islam memerintahkannya untuk menghormati istrinya, memenuhi hak-haknya dan menciptakan kehidupan yang layak baginya sehingga istrinya patuh dan cinta kepadanya.

Kewajiban menataati suami yang telah ditetapkan agama Islam kepada istri tidak lain karena tanggung jawab suami yang begitu besar, sebab suami adalah pemimpin dalam rumah tangganya dan dia bertanggungjawab atas apa yang menjadi tanggungannya. Di samping itu, karena suami sangat ditekankan untuk mempunyai pandangan yang jauh ke depan dan berwawasan luas, sehingga suami dapat mengetahui hal-hal yang tidak diketahui istri berdasarkan pengalaman dan keahliannya di bidang tertentu.

Istri yang bijaksana adalah istri yang mematuhi suaminya, melaksanakan perintahnya, serta mendengar dan menghormati pendapat dan nasihatnya dengan penuh perhatian. Jika dia melihat bahwa di dalam pendapat suaminya terdapat kesalahan maka dia berusaha untuk membuka dialog dengan suaminya, lalu menyebutkan kesalahannya dengan lembut dan rendah hati. Sikap tenang dan lembut bak sihir yang dapat melunakkan hati seseorang.

Ketaatan kepada suami mungkin memberatkan seorang istri. Seberapa banyak istri mempersiapkan dirinya untuk mematuhi suaminya dan bersikap ikhlas dalam menjalankannya maka sebanyak itulah pahala yang akan didapatkannya, karena seperti yang dikatakan oleh para ulama salaf, “Balasan itu berbanding lurus dengan amal yang dilakukan seseorang.” Tidak diragukan bahwa istri bisa memetik banyak pahala selain taat kepada suami seperti shalat, puasa, zakat, haji dan lainnya, namun pahala yang didapatkannya tidak sempurna jika tidak mendapatkan pahala dalam menaati suaminya, menyenangkan hatinya dan tidak melakukan sesuatu yang tidak disukainya.

Kita atau Anda mungkin menemukan benih-benih kesombongan mulai merasuki istri Anda, maka ketika itu hendaklah Anda berlapang dada kemudian menasihatinya dengan sepenuh hati.

Layaknya sebuah perusahaan, pernikahan juga akan mengalami ancaman serius berupa perselisihan dan sengketa antara individu yang ada di dalamnya.

Suami adalah pelindung keluarga berdasarkan perintah Allah kepadanya, maka dialah yang bertanggungjawab dalam hal ini. Sebab, keluarga adalah pemerintahan terkecil, dan suamilah “rajanya”, sehingga dia wajib dipatuhi.

Allah Ta’ala telah berfirman;

لرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاء بِمَا فَضَّلَ اللّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُواْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللّهُ وَاللاَّتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُواْ عَلَيْهِنَّ سَبِيلاً إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلِيّاً كَبِيراً

“Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya.” (QS. An-Nisaa` [4] : 34)

Batas-batas ketaatan
Kewajiban istri untuk menaati suaminya bukan bukan ketaatan tanpa batasan, melainkan ketaatan seorang istri yang shalih untuk suami yang baik dan shalih, suami yang dipercayai kepribadiannya dan keikhlasannya serta diyakini kebaikan dalam tindakannya.

Dalam sebuah hadits disebutkan, “Tidak ada ketaatan dalam hal berbuat
maksiat akan tetapi ketaatan adalah pada hal-hal yang baik.” (HR. Al-Bukhari, Muslim dan Abu Daud).
Ketaatan istri ini harus dibarengi oleh sikap suami yang suka berkonsultasi dan meminta masukan dari istrinya sehingga memperkuat ikatan batin dalam keluarga.

Konsultasi antara suami dan istri pada semua hal yang berhubungan dengan urusan keluarga merupakan sebuah keharusan, bahkan hal-hal yang harus dilakukan suami untuk banyak orang. Tidak ada penasehat yang handal melebihi istri yang tulus dan mempunyai banyak ide cemerlang untuk suaminya. Dalam banyak riwayat disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam suka berkonsultasi dengan istri-istrinya dan mengambil pendapat mereka dalam beberapa hal penting.

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah berskonsultasi kepada istrinya, Ummu Salamah pada kondisi yang sangat penting di kala para shahabat enggan menyembelih unta dan mencukur rambutnya. Ketika itu Ummu Salamah meminta Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam untuk melakukannya terlebih dahulu dan tidak berbicara kepada siapapun. Demi melihat hal itu, para shahabat pun melakukannya.

Sungguh pendapat Ummu Salamah sangat brilliant!
Akhirnya, marilah kita berislam secara benar. Benar dalam pengertian sesuai yang diajarkan oleh Allah dan Rasulnya. Jika tidak, kita akan terus menyesuaikan agama ini dengan ajaran-ajaran yang tidak dibenarkan.

Saat ini banyak orang sedang gandrung dengan slogan kesetaraan gender dan feminism.  Isme-isme atau paham seperti ini hanyalah solusi masyarakat Barat untuk keluar dari sebuah krisis ketidakadilan yang sedang menimpa mereka, bukan untuk wanita-wanita Muslim. Sudah banyak terbukti, paham-paham seperti ini, telah menjauhkan wanita Muslim pada tauhid.

Islam dan Allah Subhanahu Wa ta’ala telah mengatur sedemikian rupa tentang hak-hak suami-istri, sesuai porsinya. Sekiranya masih ada yang curiga seolah-olah semua ketetapan Allah Subhanahu Wa ta’ala itu masih kurang proposional, sama halnya kita menganggap otak kita-lah yang lebih cerdas dari ketetapan Allah Subhanahu Wa ta’ala. Walhasil, marilah mengikuti al-Qur`an dan hadits saja dalam menjalankan bahtera pernikahan ini, agar kita bisa benar-benar merasakan keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah.

Wassalam
Endang Gunawan, S.Pd.i
087873772177