PERKAWINAN WANITA HAMIL dan STATUS ANAK
Pendahuluan
Perkawinan wanita hamil adalah seorang wanita yang hamil seblum melangsungkan akad nikah, kemudian dinkahi oleh pria yang menghamilinya. Oleh karena itu, masalah perkawinan wanita hamil harus dibutuhkan penelitian dan perhatian yang bijaksana terutama Pegawai Pembantu Pencatat Nikah (P3N). Tentang hamil diluar nikah sendiri sudah kita ketahui sebagai perbuatan zina baik oleh pria yang menghamilinya maupun wanita yang hamil. Dan itu merupakan dosa besar. Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, ada yang secara ketat tidak memperbolehkan, ada pula yang menekankan pada penyelesaian masalah tanpa mengurangi kehati-hatian mereka.
Sejalan dengan sikap para ulama itu, ketentuan hukum Islam menjaga batas-batas pergaulan masyarakat yang sopan dan memberikan ketenangan dan rasa aman. Patuh terhadap ketentuan hukum Islam, insya Allah akan mewujudkan kemaslahatan dalam masyarakat.
Dalam Impres No. 1 Tahun 1991 tentang penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam(KHI), Bab VIII Kawin Hamil sama dengan persoalan menikahkan wanita hamil. Pasal 53 dari BAB tersebut berisi tiga(3) ayat , yaitu :
• Seorang wanita hamil di laur nikah, dapat dinikahkan dengan pria yang menghamilinya.
• Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat(1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dulu kelahiran anaknya.
• Dengan dilangsungkan perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.
Dasar pertimbangan Kompilasi Hukum Islam terhadap perkawinan wanita hamil adalah QS: An-Nur:3, yang artinya
“laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin”.
Maksud ayat diatas ialah tidak pantas orang yang beriman kawin dengan yang berzina, demikian pula sebaliknya. Persoalan menikahkan wanita hamil apabila dilihat dari KHI, penyelesaiaanya jelas dan sederhana cukup dengan satu pasal dan tiga ayat. Yang menikahi wanita hamil adalah pria yang menghamilinya, hal ini termasuk penangkalan terhadap terjadinya pergaulan bebas, juga dalam pertunangan. Asas pembolehan pernikahan wanita hamil ini dimaksudkan untuk memberi perlindungan kepastian hukum kepada anak yang ada dalam kandungan, dan logikanya untuk mengakhiri status anak zina.
Menurut pandangan ulama’ fiqh Dalam kasus wanita hamil yang akan menikah dengan laki-laki lain yang tidak menghamilinya, ada tiga pendapat yaitu :
• Menurut Imam Malik, seorang wanita yang zina tidak diperbolehkan nikah kecuali setelah menyelesaikan iddahnya. Kalau ia hamil, maka ia baru diperbolehkan nikah setelah melahirkan anaknya. Dalam hal ini, Imam Malik memang punya pandangan yang sangat keras.
• Yang lebih ringan adalah pendapat Imam Syafi'i, ia berpendapat diperbolehkannya nikah dengan wanita yang zina, walau ia dalam keadaan hamil. Demikian juga menurut Hanafiyah, hanya saja, menurut madzhab ini, sang suami tidak diperbolehkan mengumpuli istrinya hingga ia melahirkan anaknya.
• Perbedaan madzhab-madzhab ini, jika sang suami bukan lelaki yang berbuat zina kepada wanita tsb. Apabila sang suami adalah orang yang berbuar zina kepada sang wanita, maka semuanya sepakat memperbolehkan pernikahan tsb. baik wanitanya hamil atau tidak.
pertama, harus menunggu sampai kelahiran anak yang dikandung wanita tersebut. Dan status anak yang dilahirkan kelak, dapat dianggap sebagai anak laki-laki yang mengawini wanita tersebut dengan kesepakatan kedua belah pihak.
Kedua, siapapun pria yang mengawini dianggap benar sebagai pria yang menghamili, kecuali wanita tersebut menyanggahnya. Ini pendapat ulama Hanafi yang menyatakan bahwa menetapkan adanya nasab (keturunan) terhadap seorang anak adalah lebih baik dibanding dengan menganggap seorang anak tanpa keturunan alias anak haram.
Perkawinan dalam kasus ini dapat dilangsungkan tanpa menunggu kelahiran bayi, dan anak yang dikandung dianggap mempunyai hubungan darah dan hukum yang sah dengan pria yang mengawini wanita tersebut. Di sinilah letak kompromistis antara hukum Islam dan hukum adat dengan menimbang pada kemaslahatan, aspek sosiologis dan psikologis.
Status anak
Status anak yang lahir akibat pernikahan dikarenakan wanita yang melahirkannya telah hamil terlebih dahulu, maka status anak tersebut menurut pandangan ulama’ fiqh, yaitu:
Menurut Mahzab Syafi'i : Kalau kandungan itu terlahir setelah 6 bulan waktu dari waktu nikah, maka sang ayah (siapa saja yang menikah dengan ibu hamil tadi) bisa menjadi wali nikah. Kalau kandungan itu terlahir kurang dari 6 bulan setelah umur pernikahan maka walinya adalah wali hakim. Ini didasarkan usia minimal bayi dalam kandungan adalah enam bulan, jadi selama enam bulan itu ada kemungkinan janin yang ada dalam kandungan ibu adalah janin dari orang yang menikahinya.
Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia dalam hal kebolehan seorang lelaki menikahi seorang wanita hamil dari hasil hubungan gelap (zina). Hanya saja, fiqh membolehkan secara mutlak, baik dinikahi oleh lelaki yang telah menghamilinya atau bukan, sedangkan KHI membolehkan, namun dengan syarat lelaki yang menikahinya adalah lelaki yang telah menghamilinya.
Selanjutnya, jika antara keduanya telah melakukan akad nikah, kemudian melahirkan seorang bayi, maka nasab bayi tersebut, menurut fiqh, dapat dihubungkan dengan orang tua lelakinya, jika bayi lahir setelah 6 bulan sejak akad nikah orang tuanya. Namun, jika bayi lahir kurang dari 6 bulan, maka nasab bayi tidak dapat dihubungkan dengan orang tua lelakinya. Sedangkan, menurut KHI, bayi yang lahir dari akad nikah tutup malu dapat dihubungkan nasabnya dengan orang tua lelakinya tanpa syarat.
Sebenarnya, KHI ini lebih realistis dari pada fiqh dalam menghubungkan nasab bayi (anak) dengan orang tua lelakinya (bapak) karena beberapa alasan:
• pertama, KHI hanya membolehkan perempuan hamil tersebut menikah dengan lelaki yang telah menghamilinya sehingga anak yang dilahirkan jelas berasal dari sperma bapaknya
• Kedua, penetapan nasab anak dalam KHI dapat dilakukan dengan melalui iqra atau istilah yang digunakan oleh Hanafiyah, tidak Syafi’iyah.
• .Ketiga, penetapan nasab anak dalam KHI dapat dilakukan dengan memahami petunjuk Al Qur’an pada “al mawlulah“ yaitu qat’i ( Mahzab Hanafi).
Jadi secara umum Nasab sang anak tetap ikut pada ayah .. kecuali .. lebih dari 6 bulan.
AKIBAT PERKAWINAN TERHADAP ANAK KETURUNAN
Anak sah menurut Pasal 42 UU No.1 tahun 1974, adalah :
"Anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat dari perkawinan yang sah"
Penyangkalan anak dapat dilakukan menurut Pasal 251 – 254 KUHPer, jika :
1. Dilahirkan sebelum 180 hari sejak saat perkawinan
2. Jika masa 180 + 300 hari, belum pernah berhubungan tetapi istri melahirkan
3. Istri melakukan perzinahan
4. Anak dilahirkan setelah lewat 300 hari, keputusan hakim sejak perpisahan meja dan tempat tidur
PEMBUKTIAN ANAK SAH, dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan dua akte, yaitu :
1. Akte perkawinan, milik ibu
2. Akte kelahiran, dari ibu mana anak tersebut dilahirkan
Selain itu, dapat dilakukan pembuktian langsung/nyata yaitu :
1. Memakai nama keluarga Ayah
2. Masyarakat sekitar mengakui
3. Ayah memperlakukan baik keluarga lainnya
Anak diluar kawin/natuurlijk kind apabila diakui melalui akte pengakuan anak maka akan menimbulkan hubungan hukum dengan suami/istri yang mengakui. Apabila tidak diakui maka tidak ada hubungan hukum.
KEKUASAAN ORANG TUA / Ouderlijke Macht
Kekuasaan orangtua meliputi dua hal, yaitu :
1. Diri anak ; kebutuhan fisik anak
2. Harta anak ; pengurusan harta sang anak
Sifat kekuasaan orangtua menurut KUHPer adalah kekuasaan kolektif yang dipegang oleh Ayah
Sifat kekuasaan orangtua menurut UU No. 1 tahun 1974 adalah kekuasaan tunggal yang ada pada masing – masing pihak ayah dan ibu
Pencabutan kekuasaan orangtua dapat dilakukan (Pasal 49 UU No.1 1974), apabila :
1. melalaikan kewajiban sebagi orangtua
2. berkelakukan buruk
3. Dihukum karena suatu kejahatan
AKIBAT PERKAWINAN YANG LAIN
Mengenai hubungan darah adalah sebagai berikut :
1. Anak terhadap orangtua. Anak yang sah mempunyai hubungan darah yang sah baik dengan ayah maupun ibunya
2. Anak terhadap ibunya (Pasal 280 KUHPer dan UU No. 1 tahun 1974). Menurut KUHPer, anak diluar kawin baru mempunyai hubungan darah dengan ibu apabila sang ibu mengakuinya.
Menurut UU No. 1/1974, setiap anak secara otomatis mempunyai hubungan darah dengan ibunya
KEDUDUKAN ANAK
Pasal 42
Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.
Pasal 43
(1). Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
(2). Kedudukan anak tersebut ayat (1) diatas selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 44
(1). Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh isterinya, bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan anak itu akibat daripada perzinaan tersebut.
(2). Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan.
Pasal 55
(1). Asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran yang autentik, yang dikeluarkan oleh Pejabat yang berwenang.
(2). Bila akte kelahiran tersebut dalam ayat (1) pasal ini tidak ada, maka Pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat.
(3). Atas dasar ketentuan Pengadilan tersebut ayat (2) pasal ini, maka instansi pencatat kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan yang bersangkutan mengeluarkan akte kelahiran bagi anak yang bersangkutan.
KHI sebagaimana terlihat nanti juga memberikan aturan-aturan yang mirip untuk tidak mengatakan persis sama dengan aturan-aturan yang terdapat dalam UUPer Melalui pasal 99, KHI menyatakan bahwa:
Anak yang sah adalah:
a. anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah;
b. hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut.
Berdasarkan pasal - 99 ayat a - ini, jelas bahwa anak zina yang lahir setelah ibunya dinikahi penghamilnya seperti diatur dalam pasal 53 ayat 1 KHI adalah anak sah.
Sebabnya ialah anak tersebut dilahirkan dalam perkawinan yang sah. Anak ini bukan anak yang lahir di luar perkawinan. Anak yang lahir di luar perkawinan - menurut pasal 186 KHI - hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya. Oleh karena anak ini dilahirkan dalam perkawinan yang sah, maka ia saling mewaris tidak saja dengan ibu dan keluarga dari pihak ibunya, tetapi juga saling mewaris dengan bapak dan keluarga dari pihak bapaknya. Dengan kata lain, tidak ada perbedaan antara anak ini dan anak yang lahir akibat perkawinan yang sah.
Sekalipun merujuk pada kitab-kitab fiqh, ternyata dalam hubungannya dengan status anak yang lahir dalam perkawinan, KHI tidak memberi batasan, sebagaimana fiqh. Seperti diketahui fiqh memberi tenggang waktu minimal 6 bulan antara kelahiran dan akad nikah menurut Abu Hanifah, atau antara kelahiran dan persetubuhan yang terjadi setelah akad nikah menurut Malik dan Syafi’i baru anak tersebut dapat dinasabkan kepada bapaknya. Jika kurang dari 6 bulan, tidak dapat dipertalikan nasab tersebut. Dengan demikian jika pasal 99 a KHI di atas diinterpretasikan dengan tolok ukur fiqh Malik dan al-Syafi’i, sekalipun anak tersebut lahir begitu akad nikah selesai, tetap tergolong anak sah sepanjang persetubuhannya terjadi minimal 6 bulan sebelum anak tersebut dilahirkan. Sedang jika tolok ukur fiqh Abi Hanifah yang digunakan, baru dipandang sah jika anak tersebut lahir minimal 6 bulan setelah terjadinya akad nikah. Oleh karena baik pasal 53 ayat 1 maupun pasal 99a KHI, bertujuan antara lain untuk melindungi anak dimaksud, maka tolok ukur fiqh Malik dan al-Syafi’i lebih sejalan dengan tujuan tersebut.
Fiqh secara tegas menyatakan bahwa anak zina dapat saling mewarisi dengan ibu dan keluarga pihak ibu. Sedang dengan bapak dan keluarga pihak bapak tidak dapat saling mewarisi. Alasan yang dikemukakan fiqh, ialah adanya kejelasan hubungan nasab antara anak dengan ibunya melalui adanya indikasi bahwa ibu tersebutlah yang nyata-nyata mengandungnya. Oleh karena itu mereka saling mewarisi. Sedang antara anak dengan bapak, kejelasan hubungan nasab didasarkan atas adanya akad nikah dengan ibu anak tersebut, karena tidak ada indikasi selainnya yang dapat dijadikan pegangan. Demikianlah fiqh dahulu memberikan ketentuan.
Bagaimana sekarang, ketika ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat? Dalam hal ini, muncul berbagai persoalan yang terkait dengan ketentuan fiqh di atas. Misalnya apakah hubungan nasab seorang anak dengan ibunya, ditentukan oleh adanya kenyataan bahwa wanita itulah yang mengandungnya, bagaimana jika janin tersebut berasal dari ovum wanita lain, sedang ia hanya sekedar mengandungnya saja, bukan sekaligus pemilik ovum tersebut? Bagaimana pula jika ilmu pengetahuan dan penggunaan teknologi kedokteran dapat menentukan secara pasti hubungan genetik (nasab) antara seorang anak dengan bapaknya melalui test deoxyribonucleic acid (DNA) ? Tampaknya dalam hal ini berlaku prinsip: Hukum berubah mengikuti perubahan zaman, tempat, dan keadaan. Berdasarkan paradigma ini, maka hubungan nasab antara anak zina dan bapaknya dapat ditentukan secara pasti melalui test DNA. Ini membawa konsekuensi, keduanya saling mewarisi, termasuk juga dengan keluarga pihak bapaknya. Natijah hukum ini didasarkan atas kaidah di atas, dan alasan-alasan berikut:
1. Akurasi hasil test DNA sangat tinggi , sehingga lebih logis dijadikan dasar menentukan hubungan nasab, dibanding jika didasarkan atas adanya akad nikah antara bapak-ibu seorang anak, termasuk juga jika dibandingkan dengan penentuan hubungan nasab seorang anak dengan ibunya atas dasar bahwa ibunya itulah yang mengandung (padahal belum tentu anak yang dikandungnya itu berasal dari ovum ibunya sendiri).
2. Dengan diakuinya secara hukum hubungan nasab antara anak dengan bapak- nya - walaupun pada hakikatnya hasil perzinaannya - akan memberikan jaminan yang pasti bagi anak tersebut, baik berkaitan dengan kepastian nasabya, maupun dengan hak-haknya yang lain, serta akan memaksa bapak tersebut bertanggung jawab memikul konsekuensi logis dari perbuatannya sendiri.
3. Jika dengan prinsip al-walad li al-firasy , hukum Islam dapat memberikan kepastian hukum hubungan nasab antara seorang anak dan suami ibunya, maka seharusnya lebih dapat memberikan hal yang sama bagi seorang anak yang dengan pembuktian test DNA menunjukkan adanya hubungan genetika secara signifikan dengan seorang laki-laki (bapaknya). Pola istinbath ini dikenal dengan sebutan qiyas awlawiy atau mafhum muwafaqah.
Dengan ditemukannya teknologi yang dapat dipergunakan untuk menentukan ada tidaknya hubungan genetik antara seseorang dengan yang lainnya, maka pendapat tersebut justru prospektif, termasuk juga jika dikaitkan dengan KHI. Bahkan hukum harus mengakui adanya hubungan nasab tersebut, sekalipun kedua orang tua itu akhirnya tidak melakukan pernikahan, jika test DNA membuktikan adanya pertalian genetik tersebut secara signifikan. Dengan cara demikian, tidak saja status hukum hubungan nasab antara anak zina dan bapaknya legitimated, tetapi juga sekaligus hak-hak anak tersebut menjadi terlindungi.
Menurut hukum positif di Indonesia status anak zina yang lahir setelah ibunya dinikah laki-laki penghamilnya adalah termasuk anak sah. Oleh karena itu antara anak tersebut dan bapaknya saling mewarisi. Sekalipun yang demikian ini bertentangan dengan jumhur ulama, akan tetapi terdapat pendapat yang sejalan dengan hukum positif tersebut, yang jika dilengkapi dengan test DNA justru lebih prospektif, baik bagi status hukum anak tersebut maupun bagi kepentingan perlindungan hak-haknya. Bahkan status dan perlindungan tersebut, juga berlaku bagi semua anak zina, sekalipun kedua orang tuanya akhirnya tidak melakukan pernikahan, jika test DNA membuktikan adanya hubungan genetik secara signifikan.
Semoga nermanfaat
Wassalam
Endang Gunawan, S.Pd.I